Kamis, 19 September 2013

Analisis Konflik dan Kekerasan di Maluku



ANALISIS KONFLIK DAN KEKERASAN DI MALUKU
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Pengganti Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Komunikasi Lintas Budaya
Dosen : Drs. H. Ridha Abdulah
Ass. Dosen : H. Roni Tobroni, S.Sos., M.Si.


Disusun oleh :
Fitri Lestari
(1211405054)

ILMU KOMUNIKASI PRODI JURNALISTIK
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013

Analisis Konflik dan Kekerasan di Maluku
A.    Latar Belakang Kasus
Konflik kekerasan di Maluku yang sebagian besar terkonsentrasi di Ambon, adalah salah satu konflik yang paling dahsyat yang pecah setelah kejatuhan rezim Soeharto. Konflik ini merenggut hampir 5.000 nyawa dari tahun 1999 sampai 2002 dan mengungsikan sepertiga dari penduduk Maluku dan Maluku Utara.
Pada Desember 1998, di beberapa daerah di Ambon, perkelahian dan serangan pembakaran terjadi antara desa Kristen dan Muslim, seringkali dipicu oleh TNI. Pada 14 Januari 1999, terjadi kerusuhan antara umat Kristen dan Muslim di Dobo di tenggara Maluku. Hal yang paling sering disebut sebagai pemicu konflik di Ambon adalah peristiwa pada 19 Januari 1999 selama liburan hari raya Muslim, yakni pada Idul Fitri.
Sebuah perselisihan kecil terjadi antara seorang pemuda Kristen dari Mardika, kabupaten di kota Ambon, dengan seorang pemuda Muslim dari Batumerah, sebuah desa di sebelah Mardika. Konflik kecil ini memperburuk perpecahan yang sudah ada antara komunitas Kristen dan Muslim, mempengaruhi desa – desa disekelilingnya ke dalam kekerasan. Pada awalnya, perkelahian hanya terjadi antara orang Kristen Ambon dan pendatang Muslim dari Sulawesi Selatan (Bugis, Buton dan Makassar), dengan masing – masing meluncurkan serangan mendadak terhadap yang lain.
Pada fase awal konflik, target kekerasan adalah pendatang Muslim dari Bugis, Buton dan Makassar, sebuah kelompok yang posisinya yang dominan dalam pasar kerja dan sektor tenaga kerja informal (contohnya pedagang pasar) menimbulkan kebencian.
Konflik di Maluku mereda pada Mei 1999 ketika perhatian beralih pada awal kampanye pemilihan umum. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memenangkan pemilihan di Ambon. PDI-P adalah reformulasi daripada Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang tergabung dengan lima partai politik, termasuk Partai Kristen Indonesia (PARKINDO). Secara historis, PARKINDO didukung oleh komunitas Kristen Ambon. Dengan demikian PDI-P dianggap sebagai “partai Kristen” di Maluku. Kekerasan meledak di Ambon pada Juli 1999 ketika kemenangan PDI-P diumumkan.
Puncak dari konflik adalah serangan terhadap Gereja Silo dan pembantaian Tobelo pada 26 Desember 1999. Gereja Silo di tengah pusat kota Ambon adalah salah satu Gereja Protestan Maluku (GPM) terbesar dan terbakar habis pada hari setelah Natal. Pada hari yang sama hampir 800 Muslim di mesjid desa Tobelo dibunuh oleh pihak Kristen. Pada 7 Januari 2000, setelah pembantaian di Tobelo, lebih dari 100.000 Muslim mengadakan protes di Jakarta di Lapangan Monas, menyerukan jihad di Maluku.
Ketidakmampuan pemerintah untuk menangani konflik menyebabkan kebangkitan Front Kedaulatan Maluku (FKM) pada 2000, sebuah gerakan yang mengangkat warisan Republik Rakyat Maluku (RMS). RMS dibentuk 1950 dan mengadvokasi kaum separatis dari negara yang didominasi Muslim. RMS kemudian dianggap sebagai gerakan Kristen yang memperburuk dinamika konflik antar agama.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan kekerasan pada akhir 2001. Serangan yang berkepanjangan telah memisahkan masyarakat, sehingga secara logistik lebih sulit bagi orang Muslim dan Kristen untuk menyerang satu sama lain. Sebuah batalion gabungan khusus, Yongab, terdiri dari pasukan khusus angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara, melakukan operasi terutama melawan Laskar Jihad, termasuk terhadap basis mereka. Pada akhirnya, orang Maluku sering mengatakan bahwa mereka telah lelah bertempur. Pemerintah pusat memulai perundingan damai antara komunitas Kristen dan Muslim yang saat itu, pada tahun 2002, memuncak pada perjanjian perdamaian Malino II.
Kekerasan sporadis dan pemboman berlanjut (termasuk serangan terhadap kantor DPRD dan gubernur) tapi banyak berkurang dalam frekuensi dan intensitas sehingga status darurat sipil dihapus di Maluku pada 2003. Titik balik penting lainnya adalah serangan pada April 2002 di desa Soya, di mana 11 orang meninggal dan 22 rumah dibom. Penduduk Soya adalah orang Kristen yang menganggap mereka aman dari serangan karena letaknya yang jauh dari komunitas Muslim.
Sebuah penyelidikan mengungkapkan bahwa Kopassus (pasukan khusus TNI) dan sebuah geng Kristen yang melakukan serangan tersebut, bukan pihak Muslim seperti dicurigai pada awalnya.27 Menurut banyak pengamat, Kopassus mencoba memperpanjang konflik dengan menyewa geng Kristen untuk melakukan serangan. Berty Loupatty, salah satu pemimpin preman Kristen, mengaku jika serangan Soya sebenarnya adalah perintah Kopassus. Hal ini memberikan pihak Kristen dan Muslim sebuah alasan yang sama atas penolakan mereka terhadap tentara. Sebuah kesamaan perasaan sebagai korban mengurangi tingkat konflik komunal.
Pada April 2004, lebih dari 40 orang tewas dalam kerusuhan menyusul pengibaran bendera RMS dirumah pemimpin FKM. Kerusuhan pecah lagi di kota Ambon tapi mereda dalam waktu satu minggu. Menyusul kerusuhan ini, pemboman kecil – kecilan terjadi tetapi tidak memicu reaksi keras dari masyarakat lokal.
            Kronologi Konflik Maluku
1999
Januari

Perkelahian jalanan yang kecil meningkat menjadi kerusuhan di kota Ambon dan sekitarnya.
Maret

Kekerasan massal menyebar ke pulau lain di Maluku.
Mei
Kampanye pemilihan umum dimulai dan kekerasan berkurang.
Juni
Pemilihan umum.
Juli
Kekerasan massal dimulai lagi di kota Ambon.
Oktober
Provinsi Maluku Utara dipisah dari Provinsi Maluku.
Desember
Konflik meningkat setelah gereja Silo dibakar dan pembantaian terjadi di desa Muslim Tobel.
2000
Mei

Laskar Jihad tiba di Ambon.
Juni
Pembantaian di Galela dekat Tobelo di Maluku Utara.
Senjata polisi dicuri dan disebarkan ke masyarakat sipil.
Darurat sipil diberlakukan di Maluku dan Maluku Utara dan ribuan tentara dikerahkan.
Desember
Front Kedaulatan Maluku (FKM) menyatakan kemerdekaan Republik Maluku Selatan (RMS).
2001
Januari
Batalyon Gabungan (Yongab) melakukan “operasi pembersihan” dengan target kelompok garis keras Muslim.
Juni
Yongab melakukan “operasi pembersihan” lainnya.
2002
Pebruari

Perjanjian Damai Malino (Malino II) ditandatangani.

April
Kantor pemerintahan provinsi Maluku dibakar.
Desa Soya diserang, setelah itu kekerasan mulai berkurang di Maluku.
Mei
Pemimpin Laskar Jihad, Ja’far Umar Talib dan FKM, Alex Manuputti ditangkap.
Oktober
Laskar Jihad hilang dari Maluku.
2003
Mei
Darurat sipil dicabut dari provinsi Maluku Utara.
September

Darurat sipil dicabut dari provinsi Maluku.
2004
April
FKM mengibarkan bendera RMS, memicu kerusuhan di kota Ambon yang menewaskan 40 orang.
Juni
Pemilihan umum.



B.     Pendorong/Penyebab terjadinya Konflik
Konflik di Maluku sering digambarkan sebagai permusuhan lama antara umat Muslim dan Kristen, walaupun kenyataannya lebih kompleks. Akibat keterlibatan Eropa dalam perdagangan rempah pada abad ke-16, hampir sekitar setengah dari penduduk Maluku sekarang adalah orang Kristen (50.2 persen menurut sensus tahun 2000); dibandingkan wilayah lain di Indonesia di mana 88 persen penduduknya adalah Muslim.
Selama kurang lebih 350 tahun Belanda menjajah Indonesia, membagi masyarakat Maluku menurut garis agama, secara geografis dan sosial. Praktek – praktek tradisional diperkirakan telah meredam ketegangan antara pihak Kristen dan Muslim dalam kondisi yang stabil sampai pada1970-an. ‘Pela –Gandong’, sebuah sistem aliansi desa yang unik di Maluku Pusat, mengikat desa – desa Kristen dan Muslim bersama – sama dan memainkan peran penting dalam hubungan sosial tradisional dan pengalaman identitas budaya. Maluku mengalami banyak perubahan sosial selama kepemerintahan Soeharto.
Hubungan damai antara Kristen dan Muslim yang terlihat hanyalah lapisan luarnya saja. Penjajahan Belanda mengakibatkan orang Kristen diberi akses yang lebih besar dalam pendidikan dan posisi politik, sedangkan Muslim menjadi mayoritas pedagang dan pebisnis.
Menyusul kebijakan pemerintah untuk transmigrasi yang dimulai pada 1950-an, migrasi sukarela dari Bugis, Buton dan Makassar yang bertumbuh pada 1970-an, penduduk Maluku yang Muslim makin bertambah. Pada 1990, Soeharto mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai alat untuk mengamankan dukungan politik dari kelompok Islam ketika kekuasaannya atas militer memudar.
Soeharto menggunakan ICMI sebagai penyeimbang terhadap militer. ICMI menjadi sumber yang penting bagi perorangan untuk jabatan pemerintahan yang penting, termasuk di Maluku. Pada 1992, M. Akib Latuconsina, direktur ICMI di Maluku diangkat menjadi gubernur. Beliau adalah orang Maluku pertama dan orang sipil pertama yang memegang jabatan tersebut, yang biasanya selalu ditempati oleh pejabat militer dari Jawa. Pada 1996, semua bupati di provinsi adalah Muslim. Perubahan ini membuat kesal penduduk Kristen dan lebih lagi membagi Maluku ke dalam garis agama.


C.    Tokoh dan Inisiatif Pengelolaan Konflik
Berbagai upaya telah diambil untuk mengakhiri konflik, termasuk yang dipimpin oleh petugas keamanan; pemerintahan pusat dan daerah; LSM internasional dan lokal; masyarakat lokal dan kelompok perempuan. Dua pendekatan yang luas terhadap pengelolaan konflik di Maluku muncul dari upaya berikut: pendekatan keamanan dan darurat; dan pendekatan pemulihan dan pembangunan.
Pengelolaan konflik sebelum Perjanjian Damai Malino pada Februari 2002 (Malino II) sebagian besar adalah bersifat reaktif. Tidak ada strategi atau perencanaan jangka panjang baik oleh Pemerintah maupun masyarakat sipil. Alat pengelolaan konflik yang utama digunakan adalah pengiriman bantuan dan keamanan, mengandalkan pada militer yang didatangkan dari luar Maluku. Malino II adalah sebuah titik balik yang signifikan ditandai dengan pengalihan ke pendekatan pemulihan dan pembangunan.
Setelah proses perdamaian Malino II, pemerintah pusat dan daerah menggunakan perangkat hukum – menangkap dan menuntut mereka yang memegang senjata dan melakukan serangan – dan fokus kepada perencanaan pembangunan jangka panjang dan pemulihan. Masyarakat sipil juga mengalihkan pendekatannya dari bantuan darurat ke pembangunan dan pemulihan.
·           Upaya – upaya dari masyarakat lokal untuk menyelesaikan konflik
Sebelum kedatangan bantuan darurat dari pemerintah pusat dan badan – badan internasional ke Ambon, masyarakat lokal sangat bergantung kepada lembaga – lembaga keagamaan untuk mendapat bantuan. Seperti yang dikatakan oleh seorang penduduk Warigin di kota Ambon: “Kami menolong dan mendukung satu sama lain dengan membagi persediaan makanan dan kebutuhan pokok lainnya, dan menerima pengungsi di rumah kami. Tidak ada seorangpun yang menolong kami untuk waktu yang lama. Kami bertahan hidup sendiri sampai bantuan darurat datang.[1]
Di antara masyarakat Kristen, gereja – gereja berfungsi sebagai pusat distribusi untuk bantuan darurat.[2] Bantuan dalam masyarakat Muslim kurang teratur, dengan mesjid – mesjid yang hanya berfungsi sebagai tempat penampungan bagi umat Muslim. Pada fase konflik ini, ‘damai’ dianggap sebagai kata yang tabu dalam banyak komunitas.

·           Peran perempuan
“Perempuan memiliki peran yang berpengaruh dalam keluarga. Sebagai istri, perempuan dapat membujuk suami mereka untuk tidak terlibat dalam konflik dan sebagai ibu, mereka dapat mendidik anak – anak mereka untuk tidak berprasangka terhadap agama lain.”[3]
Perempuan memainkan peran yang aktif dalam upaya penciptaan perdamaian di ambon. Pertemuan antar agama dikalangan pengungsi perempuan tidak hanya menjamin distribusi bantuan darurat kepada pengungsi, tapi juga menjadi ajang untuk rekonsiliasi antara perempuan Muslim dan Kristen.
Perempuan cukup aktif dalam organisasi sebagi bentuk kepedulian mereka menciptakan perdamaian. Salah satu contoh yang kuat adalah Gerakan Perempuan Peduli (GPP) yangdibentuk pada September 1999 oleh lebih dari 40 aktivis perempuan Muslim, Protestan dan Katolik. Mereka mengorganisir aksi menentang kekerasan di Maluku bahkan ketika konflik mencapai puncaknya. Mereka juga mengatur pertemuan dengan pejabat pemerintah dan keamanan, pemimpin agama dan pemuda, juga melatih relawan perempuan di lapangan mengenai mediasi dan konseling. GPP juga bekerjasama dengan organisasi – organisasi perempuan di Maluku.
D.    Solusi
Pada dasarnya konflik yang terjadi di Maluku bukan semata-mata karena masalah agama saja. Banyak aspek lain yang menjadi pemicu pecahnya konflik ini sehingga menewaskan ribuan korban. Namun, perbedaan agama yang dianut oleh masyarakat setempat menarik satu poin penting bahwa pemicu konflik terbesar pada persengketaan Ambon tahun 1998 silam adalah karena perselisihan agama.
Untuk mengatasi konflik semacam ini, ada beberapa pihak yang harus berperan dalam menciptakan perdamaian dan menyelesaikan persengketaan, di antaranya :

1.      Peran Pemerintah
Peran pemerintah dalam menyelesaikan konflik bangsanya seyogyanya menjadi tugas besar yang harus benar-benar direlisasikan. Pemerintah harus bisa mengkoordinir dan mengambil alih untuk bertindak secara cepat meredam konflik yang tengah terjadi.
Melalui panglima angkatan militer, pemerintah memberikan komando khusus untuk segera menyelesaikan konflik ke tempat kejadian. Dengan melakukan langkah-langkah yang tegas dan nyata terhadap masyarakat yang bersengketa berdasarkan instruksi pemerintah, maka akan menjadi awal yang tepat mengurangi pertikaian yang terjadi.
Selanjutnya, pembagian kekuasaan yang tidak merata dari agama tertentu yang menjadi salah satu pemicu konflik, sepatutnya tidak terjadi. Untuk itu, sebaiknya pembagian kekuasaan dalam memegang jabatan dilimpahkan kepada orang-orang yang mumpuni di bidangnya, dengan tidak memandang status agamanya.
2.      Peran Pasukan Militer
Angkatan bersenjata, yakni pasukan militer seharusnya terjun secara aktif melakukan pengamanan di tengah pertikaian. Sebagai personil pertahanan negara, pasukan militer wajib berperan besar membantu menyelesaikan konflik dengan strategi dan tak-tik pengamanan yang tepat dan tanggap.
Kesiagaan pasukan militer, dapat ditunjukkan salah satunya dengan persediaan senjata yang memadai dan fungsional. Di samping itu, kesiapan para personil baik fisik maupun mental juga menentukan seberapa besar dan berpengaruh peran pasukan pengamanan bagi masyarakat.
3.      Kesadaran Masyarakat
Untuk menghindarkan adanya konflik antaragama, interaksi dan komunikasi antarkelompok agama perlu diselenggarakan secara terbuka lewat perilaku sosial yang akomodatif. Stogdill[4] menyebutkan bahwa suatu sistem interaksi yang terbuka akan membantu integritas dalam kelompok, menguatkan moral kelompok yang bertindak, berinteraksi dan menguatkan harapan-harapan untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam hal ini, bendera agama atau aliran kepercayaan tidak dapat dipergunakan sebagai simbol interaksi. Hal ini untuk menghindari perbenturan perbedaan konsep religius dan sentimen keagamaan yang tajam. Jadi, tema-tema kemanusiaan seperti hak-hak asasi manusia, solidaritas sosial, pelacuran, perjudian, kriminalitas, masalah kekerasan, harmoni hidup secara damai, dan berbagai penyakit masyarakat lainnya, merupakan tema-tema yang perlu dikembangkan dalam proses interaksi dan komunikasi antaragama
E.     Kesimpulan
Walaupun banyak usaha perdamaian, tidak ada strategi pengelolaan konflik yang jelas dan sedikit koordinasi antara sejumlah tokoh di Ambon. Khususnya dalam kasus selama fase darurat, ketika baik pemerintah pusat ataupun masyarakat sipil tidak memiliki rencana jangka panjang atau pandangan ke masa depan dan pengelolaan konflik bersifat reaktif. Petugas keamanan bertindak untuk mencegah kekerasan sementara pemerintah lokal dan masyarakat sipil fokus kepada pendistribusian bantuan kemanusiaan. Kurangnya koordinasi dan pertukaran informasi di antara pemangku kepentingan yang berbeda merupakan masalah terbesar. Namun, beberapa komunitas lokal mengambil sebuah strategi pengelolaan konflik yang efektif, seperti yang ditunjukkan oleh contoh dari desa Wayame dan gerakan Baku Bae.
Banyak donor dan LSM internasional juga meninggalkan Ambon menyusul tsunami di Aceh pada 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta pada 2005, membuat lebih sulit bagi LSM lokal di ambon untuk mengakses anggaran untuk pemulihan pasca kekerasan. Hanya setelah penandatanganan Perjanjian Perdamaian Malino II kemudian pemerintah pusat dan lokal secara serius menangani isu – isu yang berhubungan dengan konflik. Prioritas Pemerintah adalah rekonstruksi infrastruktur dan juga pemukiman kembali pengungsi. Namun, kurangnya sistem pertanggungjawaban dan transparansi mengakibatkan anggaran untuk pemulihan konflik seringkali disalahgunakan.
Selain itu, Pemerintah terlihat tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap keeratan sosial dan juga trauma yang dialami para korban konflik, dan kebanyakan tugas ini diambil oleh masyarakat sipil dan LSM. Banyak LSM lokal yang mengalami kesulitan ketika mereka menggunakan dana untuk bantuan darurat tanpa perencanaan yang konkrit mengenai apa yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal. Revitalisasi adat Maluku, dipimpin oleh masyarakat sipil, adalah salah satu strategi pengelolaan konflik yang lebih efektif.
Meskipun kekerasan terbuka telah menurun, masalah masih tetap ada. Di Ambon, contohnya, ada masalah pemisahan, pengangguran, sengketa tanah dan hak milik, meningkatnya migrasi dari Jawa dan LSM yang dipisahkan oleh garis agama. Walaupun mempunyai wewenang, dengan undang – undang desentralisasi untuk menciptakan peraturan sendiri (peraturan daerah, perda), pemerintah daerah masih belum berhasil menawarkan kebijakan yang jelas untuk menangani masalah struktural ini.
























DAFTAR PUSTAKA
Pengelolaan Konflik di Indonesia.pdf
Komunikasi Multikultural


[1] Diskusi kelompok fokus dengan penduduk Warigin di kota Ambon, 20 November 2009.
[2] Wawancara Akiko Horiba dengan pendeta di gereja Silo di kota Ambon, 16 Juli 2009.

[3] Wawancara Akiko Horiba dengan perwakilan Kristen untuk Perjanjian Damai Malino, Ambon, 31 Agustus 2009.

[4] Baca Marvin E. Shaw, dalam Sarwono, Op. Cit., p, 116.

1 komentar:

  1. Mbak Fitri Lestari, anda telah menjiplak tulisan di atas dari Laporan LIPI, Current Asia, dan The Centre for Humanitarian Dialogue Juni 2011 berjudul, "Pengelolaan Konflik di Indonesia Sebuah Analisis Konflik Maluku, Papua dan Poso. Anda mulai jiplak dari halaman 16. Beberapa paragraph bahkan sama persis. Kronologi yang anda tampilkan di atas juga sama persis dengan di halaman 17. Jika ini resensi buku anda harus tulis dengan bahasa anda sendiri. Lalu kutipan langsung harus pakai tanda kutip dan berikan catatan kaki halaman yang anda kutip langsung. Bila ini makalah akhir anda, sayang sekali jika makalah akhir anda adalah hasil jiplak. Meski demikian saya menghargai niat anda untuk belajar, hanya anda harus belajar percaya diri dengan karya anda sendiri. Salam

    BalasHapus