Kamis, 19 September 2013

Makalah Sejarah Pers di Indonesia



SEJARAH PERS DI INDONESIA
MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah dan Perbandingan Pers
Dosen: H. Roni Tabroni, S.Sos., M.Si


Disusun Oleh:
Fitri Lestari
1211405054

ILMU KOMUNIKASI PRODI JURNALISTIK
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim
Assalamualaikum wr. wb.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan segala rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Karena hanya dengan berkat rahmat dan hidayah-Nya jualah penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah pada mata kuliah Sejarah dan Perbandingan Pers yang berjudul “Sejarah Pers di Indonesia”.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah dan Perbandingan Pers. Dengan selesainya makalah ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu pada proses penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar dapat menjadi acuan untuk dapat membuat makalah selanjutnya yang jauh lebih baik.
Wassalamualaikum wr. wb.
      

  Bandung, September 2013


Penyusun









DAFTAR ISI

Kata Pengantar_________________________________________________________ i
Daftar Isi______________________________________________________________ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah_____________________________________________ 1
B.     Rumusan Masalah__________________________________________________ 1
C.     Tujuan Penyusunan_________________________________________________ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Zaman Penjajahan Belanda___________________________________________ 2
B.     Zaman Perjuangan (Pergerakan)_______________________________________ 3
C.     Zaman Penjajahan Jepang____________________________________________ 3
D.    Zaman Orde Lama_________________________________________________ 3
E.     Zaman Orde Baru__________________________________________________ 4
F.      Era Reformasi_____________________________________________________ 6
G.    Teori Pers dan Penerapannya di Indonesia_______________________________ 8
BAB III PENUTUP_____________________________________________________ 10
DAFTAR PUSTAKA___________________________________________________ 11

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berbicara tentang jurnalistik adalah berbicara mengenai pelaksanaan demokrasi sebagai bentuk dari kebebasan menyampaikan pendapat seperti yang tercantun dalam Undang-undang Pasal 28. Dalam fungsinya, jurnalistik menjadi sarana yang menghubungkan aspirasi masyarakat dengan pemerintah.
Kelahiran jurnalistik di dunia sebetulnya sudah berlangsung lama, yakni sejak zaman pemerintahan Cayus Julius Caesar (100-44 SM) di negara Romawi (Sumadiria, 2005: 17). Berawal dari menyiarkan kabar mengenai keputusan senat di papan pengumuman, Acta Diurna. Terhadap isi acta diurna tersebut setiap orang boleh membacanya, bahkan juga boleh mengutipnya untuk kemudian disebarluaskan dan dikabarkan ke tempat lain.
Sejak saat itu, jurnalistik mengalami perkembangan hingga ke Cina, Eropa, Amerika dan masuk ke Indonesia. Namun, ternyata belum banyak yang tahu mengenai sejarah perkembangan jurnalistik pers di Indonesia dari fase pertama hingga tumbuh menjadi seperti sekarang ini.
Oleh karena itu, penyusun merasa terpanggil untuk menyusun makalah yang membahas mengenai perkembangan jurnalistik pers di Indonesia yang disusun berdasarkan kurun waktu sejarah.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa rumusan masalah yang hendak penyusun rangkum dalam mkaalah ini, di antaranya:
1.      Bagaimana kronologi perkembangan pers di Indonesia dari periode pertama hingga saat ini?
2.      Dalam realitanya, teori apa yang saat ini diterapkan pemerintah dalam aktifitas jurnalistik?
C.    Tujuan Penyusunan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Memberikan informasi tentang perkembangan pers di Indonesia
2.      Membahas teori yang diterapkan pemerintah dalam akrifitas jurnalistik.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Zaman Penjajahan Belanda
Perkembangan sejarah Jurnalistik di Indonesia telah dimulai sejak  zaman pemerintahan belanda (zaman penjajahan). Menurut  AS Haris Sumadiria (2005:11) yang dikutip dari pendapat gurunya, Jurnalistik pers di Indonesia mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada 1744. Ketika itu surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan dengan penguasaan orang-orang Belanda.
Selanjutnya pada 1776 di Jakarta juga terbit surat kabar Vendu Niews yang mengutamakan diri pada berita pelelangan. Menginjak abad 19, terbit berbagai surat kabar lainnya yang kesemuanya masih dikelola oleh orang-orang Belanda untuk pembaca orang Belanda atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa Belanda, yang pada umumnya merupakan kelompok kecil saja.
Jurnalistik koran-koran Belanda ini, jelas membawakan suara pemerintahan kolonial Belanda, sebagian sumber menyatakan surat kabar tersebut dibuat untuk membela kaum kolonialis. Sedangkan surat kabar pertama sebagai bacaan kaum pribumi dimulai pada tahun 1854 ketika majalah Bianglala diterbitkan, disusul oleh Bromartani pada 1855, keduanya di lahir di Weltevreden. Selanjutnya pada 1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya (Effendy, 2003: 104).  Pada zaman ini pun, dibentuk persatuan jurnalistik yang dikenal dengan nama Pers Kolonial, organisasi ini di bentuk oleh para kolonial dan terus berkembang hingga abad ke 20.
Sejarah jurnalistik pers pada abad 20, menurut salah seorang guru besar ilmu komunikasi Universitas Padjadjaran ( Unpad) Bandung, ditandai dengan munculnya surat kabar pertama milik bangsa Indonesia. Surat kabar tersebut bernama Medan Prijaji yang terbit di kota Kembang, Bandung. Surat kabar tersebut lahir dengan modal dari bangsa Indonesia untuk bangsa Indonesia.
Medan prijaji dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono. Pada tahun 1907, surak kabar ini terbit mingguan, namun pada tiga tahun berikutnya yakni 1910 berubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap sebagai pelopor yang meletakkan dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan maupun dalam cara pemuatan karangan dan iklan (Effendy, 2003: 104-105).
Selain Belanda, disamping itu  orang-orang keturunan thionghoa juga  menggunakan surat kabar sebagai alat pemersatu keturunan thionghoa yang berada di Indonesia. Surat-surat kabar yang terbit pada era kolonial  ini menggunakan   bahasa Belanda, Cina dan Jawa.
B.     Zaman Perjuangan (Pergerakan)
Di zaman pergerakan surat-surat kabar juga diterbitkan sebagai alat perjuangan seperti perkembangan di dunia jurnalistik saat itu menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa. Harian  yang terbit pada zaman itu antara lain harian Sedio Tomo yang merupakan kelanjutan dari Budi Oetomo di Yogjakarta tahun 1920, harian Darmo Kondo di Solo, harian Utusan India yang terbit di Surabaya dan masih banyak lagi.
C.    Zaman Penjajahan Jepang
Beralih ke masa penjajahan Jepang, pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis. Namun pada masa itu, surat izin penerbitan mulai diberlakukan. Surat-surat kabar yang diterbitkan dalam bahasa  Belanda banyak yang dimusnahkan. Penerbitan surat-surat kabar pun mulai ketat dibawa pengawasan Jepang. Surat-surat kabar yang terbit pada masa tersebut antara lain  Asia Raya (Jakarta), Sinar Baru (Semarang), Suara Asia (Surabaya), Tjahaya(Bandung).
Walaupun pengawasan jepang yang begitu ketat dan mengekang, namun ada pelajaran-pelajaran berharga untuk dunia jurnalistik Indonesia. Pengalaman karyawan-karyawan pers di Indonesia menjadi bertambah. Rakyat semakin  kritis dalam menanggapi informasi-informasi yang beredar, penggunaan bahasa Indonesia pun semakin meluas.
D.    Zaman Orde Lama
Lima tahun pasca kemerdekaan, pers Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau terompet partai-partai poltik besar. Inilah yang disebut era pers partisan. Artinya pers dengan sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti partai politik yang disukai dan didukungnya.
Kebebasan pers di sini diartikan sebagai bebas untuk memilih salah satu partai politik sebagai induk semang, dan bukan bebas untuk meliput dan melaporkan apa saja yang harus dan ingin diketahui oleh masyarkat luas. Dalam era ini pers Indonesia terjebak dalam pola sektarian. Secara filosofis, pers tidak lagi mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk para pejabat partai.
Era pers partisan ternyata tidak berlangsung  lama. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan penerbitan pers diwajibkan memiliki Surat Izin Terbit (SIT). Bahkan menurut seorang pakar pers, 1 Oktober 1958 dapat dikatakan sebagai tanggal kematian kebebasan pers Indonesia (Effendy, 2003: 108). Pada tanggal inilah, Penguasa Darurat Perang Daerah (Paperda) Jakarta Raya, menetapkan batas akhir pendaftaran bagi seluruh penerbitan pers untuk memperoleh Surat Izin Terbit (SIT).
Lebih parah lagi, ketika setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada organisasi politik atau organisasi massa. Akibat kebijakan ini, tidak kurang dari 80 surat kabar pada waktu itu dimiliki oleh sembilan partai politik dan organisasi massa. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudian lahir peraturan baru yang mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak mengeluarkan pikiran dan pendapatnya. Klimaksnya adalah pemberontakan PKI pada 30 September 1965 dengan nama G30S. Gerakan ini berhasil ditumpasoleh rakyat bersama TNI dan mahasiswa (Effendy, 2003: 109-110).
E.     Zaman Orde Baru
Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. 
Selama dua dasawarsa pertama orde baru, 1965-1985, kebebasan jurnalistik di Indonesia memang bisa disebut lebih banyak bersinggungan dengan dimensi, unsur, nilai, dan ruh ekonomi daripada dengan dimensi, unsur, nilai dan ruh politik. Sebagai sarana ekonomi, pers dapat hidup dengan subur. Rumusnya hanya satu: jangan pernah bicara politik. Orde baru sangat menyanjung ekonomi sekaligus sangat alergi dan bahkan membenci politik. Pers yang menyentuh wilayah kekuasaan sama sekali tak dibenarkan dan bisa berakhir dengan pembredelan.
Sejarah menunjukkan, dalam lima tahun pertama kekuasaannya yang sangat represif dan hegemonik, orde baru bisa disebut sangat bersahabat dengan pers. Pers itu sendiri seperti sedang menikmati masa bulan madu kedua. Namun, dimana pun bulan madu hanyalah sesaat.
Dunia pers menghadapi kenyataan yang sangat tragis.  Pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.
Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab” (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan. Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu.
Meskipun pada saat itu pers benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya.
Pembredelan 1994 ibarat hujan, jika bukan badai dalam ekologi politik Indonesia secara menyeluruh. Tidak baru, tidak aneh dan tidak istimewa jika dipahami dalam ekosistemnya. (Aliansi Jurnalis Independen, 1995 : 140). Sebelum dibredel pada 21 Juni 2004, Tempo menjadi majalah berita mingguan yang paling penting di Indonesia. Pemimpin Editornya adalah Gunawan Mohammad yang merupakan seorang panyair dan intelektual yang cukup terkemuka di Indonesia.
Pada 1982 majalah Tempo pernah ditutup untuk sementara waktu, karena berani melaporkan situasi pemilu saat itu yang ricuh. Namun dua minggu kemudian, Tempo diizinkan kembali untuk terbit. Pemerintah Orde Baru memang selalu was-was terhadap Tempo, sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah.
Majalah ini memang terkenal dengan independensinya yang tinggi dan juga keberaniannya dalam mengungkap fakta di lapangan. Selain itu kritikan- kritikan Tempo terhadap pemerintah di tuliskan dengan kata-kata yang pedas dan bombastis. Goenawan pernah menulis di majalah Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari kerja jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”. Meskipun berani melawan pemerintah, namun tidak berarti Tempo bebas dari tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan sebuah berita yang menyangkut politik serta keburukan pemerintah, Tempo telah mendapatkan berkali-kali maendapatkan peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus rela dibungkam dengan aksi pembredelan itu.
Namun perjuangan Tempo tidak berhenti sampai disana. Pembredelan bukanlah akhir dari riwayat Tempo. Untuk tetap survive, ia harus menggunakan trik dan startegi. Salah satu trik dan strategiyang digunakan Tempo adalah yang pertama adalah mengganti kalimat aktif menjadi pasif dan yang kedua adalah stategi pinjam mulut. Semua strategi itu dilakukan Tempo untuk menjamin kelangsungannya sebagai media yang independen dan terbuka. Tekanan yang datang bertubi-tubi dari pemerintah tidak meluluhkan semangat Tempo untuk terus menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.
Setelah pembredelan 21 Juni 1994, wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti dengan mendirikan Tempo Interaktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada tahun 1995. Perjuangan ini membuktikan komitmen Tempo untuk menjunjung kebebasan pers yang terbelenggu ada pada zaman Orde Baru. Kemudian Tempo terbit kembali pada tanggal 6 Oktober 1998, setelah jatuhnya Orde Baru.
F.     Era Reformasi
Pada masa Orde Reformasi, era kebebasan pers sangat dijunjung tinggi. Hal ini memunculkan lahirnya berbagai media massa baru dan bahkan media lama yang pernah terkena pembreidelan oleh penguasa Orde Baru seperti Koran Tempo telah terbit kembali. Dalam periode sejarah ini, pers benar-benar mengalami kemajuan pesat. Langkah merger dan akuisisi ditempuh oleh sejumlah perusahaan sebagai strategi bisnis media yang dinilai ampuh hingga sekarang. Dari tahun 1998-2000 saja tercatat hampir 1.000 perusahaan media yang mendapatkan izin terbit dari pemerintah, kendati hanya sedikit perusahaan media yang bisa bertahan sebab terjadi kompetisi bisnis yang sangat ketat. Jumlah media cetak pada awal tahun 1999 sebanyak 289 buah, dan pada tahun 2001 menjadi 1.881 buah.
Akhir tahun 2010, jumlah media cetak menyusut menjadi 1.076 buah (Data Serikat Penerbit Surat Kabar, 2011). Surat kabar dengan oplah tertinggi dipegang oleh Kompas dengan 600.000 eksemplar per hari, Jawa Pos 450.000 eksemplar per hari, Suara Pembaruan 350.000 per hari, Republika 325.000 eksemplar per ari, Media Indonesia 250.000 eksemplar per hari dan Koran Tempo dengan 240.000 eksemplar per hari. Pada tahun 2002, jumlah stasiun radio mencapai 873 buah. Pada tahun 2003, ada 11 stasiun televisi, 186 surat kabar harian, 245 surat kabar mingguan, 279 tabloid, 242 majalah dan 5 buletin (Gobel and Eschborn, 2005).
Lalu, bagaimana peta industri media dalam skala global?
Fakta menunjukkan bahwa industri media massa sedunia hanya dikuasai oleh 6 perusahaan media massa raksasa milik Yahudi. Perusahaan tersebut adalah Vivende Universal, AOL Time Warner, The Walt Disney Co., Bertelsmann AG, Viacom, dan News Corporation. Enam konglomerasi media massa dunia tersebut menguasai 96 persen pasar media dunia (Ramdan, Anton A. 2009). Bahkan menurut Robert W. Mc Chesney pada tahun 2000, penguasa media massa tinggal 3 perusahaan raksasa (holdings), yang kemudian mereka disebut sebagai The Holy Trinity of the Global Media System. Chesney merisaukan dampak dari adanya kenyataan jika kekuataan media sebagai produsen budaya, produsen informasi politik dan kekuatan ekonomi; terkonsentrasi pada beberapa orang saja (Chesney, 2000).
Namun seiring berjalannya waktu, bisnis media cetak mengalami kerontokan. Berikut ini sederet realitas sosial yang semakin menguatkan hegemoni industri media cetak tak sehebat (seampuh) lagi, sebagaimana sebelum era teknologi internet dikomersialkan.
Pertama, gulung tikarnya perusahaan koran tertua dan terbaik di AS sekaliber The New York Times mengalami kolaps akhir tahun 2011. Kebangkrutan The New York Times memaksa pihak manajemennya melego 16 surat kabar daerahnya kepada Halifax Media Holdings senilai USD 143 juta. Langkah The New York Times menjual asetnya untuk mengatasi beban utang. Dalam 9 bulan pertama 2011, pendapatan iklan The New York Times turun 7 persen, atau hanya USD 190 juta. Padahal tahun 2010, pendapatan tahunan iklan The New York Times setinggi USD 2,4 miliar. Kini, The New York Times beralih ke bisnis media online (Kontan edisi 29 Desember 2011).
Kedua, anjloknya jumlah oplah surat kabar dengan oplah tertinggi sedunia, yang dipegang Yomiuri Shimbun (surat kabar di Jepang). Di mana oplahnya mencapai 10 juta eksemplar per hari. Dalam The 33rd NSK-CAJ Fellowship Program di Nippon Press Centre (Senin, 24/9/2012), terungkap industri pers Jepang pun tengah mengalami masalah besar. Sebab generasi muda Jepang (usia 20-30 tahun) tidak pernah membaca koran. Menurut Mr Masaki Satsuka, Director of Editorial, Technology and International Affairs Committee of NSK, ketidakmauan generasi muda Jepang membaca koran berdampak negatif pada oplah koran. Dampaknya, menurunkan jumlah oplah koran 1-2 juta eksemplar (Kedaulatan Rakyat edisi 25 September 2012).
Ketiga, beralihnya majalah Newsweek ke versi online mulai awal Januari 2013 kemarin, karena sejak tahun 2010 merugi sampai USD 40 juta. Pemimpin Redaksi majalah Newsweek, Tina Brown mengumumkan bahwa Newsweek akan beralih versi online dengan nama Newsweek Global. Kebijakan tersebut untuk menekan ongkos cetak dan distribusi serta diorientasikan bagi 70 juta pengguna komputer jinjing di AS (Kompas edisi 20 Oktober 2012).
G.    Teori Pers dan Penerapannya di Indonesia
1.      Teori otoritarian
Menurut teori ini, media massa mempunyai tujuan utama mendukung dan mengembangkan kebijaksanaan pemerintah yang sedang berkuasa, dan untuk mengabdi kepada negara. Dengan demikian, media massa dikontrol oleh pemerintah, karena hanya dapat terbit dengan izin dan bimbingan serta arahan pemerintah, bahkan kadang-kadang dengan sensor pemerintah.
Teori ini cenderung membentuk suatu system control yang efektif dan menggunakan media massa sebagai sarana yang efektif bagi kebijaksanaan pemerintah meskipun tidak harus dimiliki oleh pemerintah.
2.      Teori Libertarian (Libertarian Theory)
Asumsi dasar teori ini adalah bahwa manusia pada hakikatnya dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh rasio atau akalnya. Manusia mempunyai hak secara alamiah untuk mengejar kebenaran dan mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim kebebasan menyatakan pendapat.
Tujuan dan fungsi media massa menurut paham liberalism adalah memberi penerangan, menghibur, menjual, namun yang terutama adalah menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah serta untuk mengecek (to check) atau mengontrol pemerintah.
3.      Teori Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility Theory)
Teori ini diberlakukan sedemikian rupa oleh beberapa sebagian pers. Teori Tanggungjawab sosial punya asumsi utama : bahwa kebebasan, mengandung didalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan; dan pers yang telah menikmati kedudukan terhormat dalam pemerintahan Amerika Serikat, harus bertanggungjawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern.
4.      Teori Pers Soviet Komunis
Dalam teori Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada di orang-orang, sembunyi di lembaga-lembaga sosial dan dipancarkan dalam tindakan-tindakan masyarakat. Kekuasaan itu mencapai puncaknya (a) jika digabungkan dengan sember daya alam dan kemudahan produksi dan distribusi, dan (b) jika ia diorganisir dan diarahkan.
Partai Komunis memiliki kekuatan organisasi. Partai tidak hanya menyelipkan dirinya sendiri ke posisi pemimpin massa; dalam pengertian yang sesungguhnya. Partai menciptakan massa dengan mengorganisirnya dengan membentuk organ-organ akses dan kontrol yang merubah sebuah populasi tersebar menjadi sebuah sumber kekuatan yang termobilisir.
Lantas, teori pers apakah yang diterapkan di Indonesia?
Berdasarkan uraian mengenai teori pers di atas, maka teori yang diterapkan dalam sistem pers di Indonesia adalah teori Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility Theory).  Kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (salah satunya pers) telah diatur dalam UUD pasal 28 sebagai cerminan bangsa yang demokratis.
Namun, bagi pers sendiri, kebebasan tersebut bukan serta-merta kebebasan yang tanpa batas. Melainkan kebebasan pers yang bebas dan bertanggung jawab. Kebebasan tersebut dipertanggungjawabkan kepada publik (masyarakat) manakala ada berita atau informasi yang tidak sesuai dengan realita yang terjadi.
Para insan pers di Indonesia diberikan kebebasan untuk mengekspos berita apa saja dengan syarat dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan kata lain, faktualitas informasi yang disampaikan sangat dipertaruhkan sehingga tidak terlepas dari nilai berita yang seharusnya ada dalam setiap produk jurnalisme. Selain itu juga, hal ini pun menekankan pada kredibilitas seorang wartawan dalam menjalankan profesinya sehingga mereka tidak asal-asalan dalam melaporkan sebuah peristiwa ataupun kejadian tertentu.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kegiatan jurnalistik pers di Indonesia sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. Ditandai dengan lahirnya surat kabar pertama bernama Bataviasche Nouvelles yang diterbitkan dengan penguasaan orang-orang Belanda. Selanjutnya memasuki masa perjuangan, pers surat-surat kabar juga diterbitkan sebagai alat perjuangan seperti perkembangan di dunia jurnalistik saat itu menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa. Kemudian pers menjadi lebih maju ketika berada di bawah pemerintahan kolonial Jepang.
Pada zaman orde lama dan orde baru, pers mengalami pasang surut. Beberapa kali pers mengalami pembredelan dari pemerintah, terlebih pada rezim Soeharto yang terkenal otoriter. Memasuki era reformasi media massa kembali melebarkan sayapnya karena mendapatkan kebebasan dari pemerintah dengan menganut nilai-nilai idelisme dan independensi. Hal ini menjadikan banyaknya media massa lahir di seluruh penjuru tanah air dari cetak hingga elektronik.
Melihat realita penerapan sistem pers yang berlaku saat ini, Indonesia menerapkan teori tanggung jawab sosial bagi para insan pers. Pihak pers bebas mengeksplorasi informasi namun harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.










DAFTAR PUSTAKA
Ardianto, Elvinaro. 2012. Komunikasi Massa. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Suhandang, Kustadi. 2010. Pengantar Jurnalistik. Bandung : Nuansa
Sumadiria, Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.



Definisi Manajemen Menurut para Ahli




1.      Harold Koontz dan Cyrill O’Donnel
Manajemen merupakan usaha untuk mecapai tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain sehingga diperlukan koordinasi terhadap kegiatan planning, staffing, directing dan controlling.
2.      Mulayu S.P. Hasibuan
Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu.
3.      Dr. Sp. Siagian dalam buku “Filsafat Administrasi”
Manajemen dapat di definisikan sebagai: “Kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui orang lain”.
4.      Ordway Tead yang disadur oleh Drs. He. Rosyidi dalam buku “Organisasi dan Management“
Manajemen adalah “Proses dan kegiatan pelaksanaan usaha memimpin dan menunjukan arah penyelenggaraan tugas suatu organisasi di dalam mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan”.
5.      Richard L. Daft (2002:8)
Manajemen adalah pencapaian sasaran-sasaran organisasi dengan cara yang efektif dan efisien melalui perencanaan pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian sumber daya organisasi.
6.      T. Hani Handoko (2000:10)
Manajemen adalah bekerja dengan orang-orang untuk menentukan, menginterpretasikan, dan mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personalia, pengarahan, kepemimpinan dan pengawasan.
7.      Menurut Marry Parker Follet
Manajemen adalah seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain.

8.      Millet (1954)
Management is the process of directing and fasilitating the work of people organized informal group to achieve a desire goal (Manajemen adalah proses memimpin dan melancarkan pekerjaan dari orang-orang yang terorganisir secara formal sebagai kelompok untuk memperoleh tujuan yang diinginkan).
9.      T.H. Nelson dan Prof. Oey Liang Gie
Manajemen adalah perpaduan ilmu dan seni.
10.  Davis (1951)
Management is the function of the executive leadership any where (Manajemen adalah fungsi dari setiap kepemimpinan eksekutif dimanapun).
11.  Kimball and Kimball (1951)
Management embraces all dities and function that pertain to the provicion of necessary is to operate and the selection of the principal office (Manajemen terdiri dari semua tugas dan fungsi yang meliputi penyusunan sebuah perusahaan, pembiayaan, penetapan garis-garis besar kebijaksanaan, penyediaan semua peralatan yang diperlukan dan penyusunan kerangka organisasi serta pemilihan para pejabat terasnya).
Kesimpulan:
Manajemen adalah suatu proses pengelolaan untuk mencapai sebuah tujuan tertentu dengan melakukan aktifitas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian/pengawasan.
Referensi:
Soedarsono, Dewi. 2009. Sistem Manajemen Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
http://putracenter.net