ANALISIS
KONFLIK DAN KEKERASAN DI MALUKU
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas Pengganti Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Komunikasi
Lintas Budaya
Dosen
: Drs. H. Ridha Abdulah
Ass. Dosen : H. Roni Tobroni, S.Sos., M.Si.
Ass. Dosen : H. Roni Tobroni, S.Sos., M.Si.
Disusun
oleh :
Fitri
Lestari
(1211405054)
(1211405054)
ILMU
KOMUNIKASI PRODI JURNALISTIK
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN
GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
Analisis
Konflik dan Kekerasan di Maluku
A. Latar Belakang Kasus
Konflik kekerasan di Maluku yang
sebagian besar terkonsentrasi di Ambon, adalah salah satu konflik yang paling
dahsyat yang pecah setelah kejatuhan rezim Soeharto. Konflik ini merenggut
hampir 5.000 nyawa dari tahun 1999 sampai 2002 dan mengungsikan sepertiga dari
penduduk Maluku dan Maluku Utara.
Pada Desember 1998, di beberapa daerah
di Ambon, perkelahian dan serangan pembakaran terjadi antara desa Kristen dan
Muslim, seringkali dipicu oleh TNI. Pada 14 Januari 1999, terjadi kerusuhan
antara umat Kristen dan Muslim di Dobo di tenggara Maluku. Hal yang paling
sering disebut sebagai pemicu konflik di Ambon adalah peristiwa pada 19 Januari
1999 selama liburan hari raya Muslim, yakni pada Idul Fitri.
Sebuah perselisihan kecil terjadi antara
seorang pemuda Kristen dari Mardika, kabupaten di kota Ambon, dengan seorang
pemuda Muslim dari Batumerah, sebuah desa di sebelah Mardika. Konflik kecil ini
memperburuk perpecahan yang sudah ada antara komunitas Kristen dan Muslim,
mempengaruhi desa – desa disekelilingnya ke dalam kekerasan. Pada awalnya,
perkelahian hanya terjadi antara orang Kristen Ambon dan pendatang Muslim dari
Sulawesi Selatan (Bugis, Buton dan Makassar), dengan masing – masing
meluncurkan serangan mendadak terhadap yang lain.
Pada fase awal konflik, target kekerasan
adalah pendatang Muslim dari Bugis, Buton dan Makassar, sebuah kelompok yang
posisinya yang dominan dalam pasar kerja dan sektor tenaga kerja informal
(contohnya pedagang pasar) menimbulkan kebencian.
Konflik di Maluku mereda pada Mei 1999
ketika perhatian beralih pada awal kampanye pemilihan umum. Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) memenangkan pemilihan di Ambon. PDI-P adalah
reformulasi daripada Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang tergabung dengan
lima partai politik, termasuk Partai Kristen Indonesia (PARKINDO). Secara
historis, PARKINDO didukung oleh komunitas Kristen Ambon. Dengan demikian PDI-P
dianggap sebagai “partai Kristen” di Maluku. Kekerasan meledak di Ambon pada
Juli 1999 ketika kemenangan PDI-P diumumkan.
Puncak dari konflik adalah serangan
terhadap Gereja Silo dan pembantaian Tobelo pada 26 Desember 1999. Gereja Silo
di tengah pusat kota Ambon adalah salah satu Gereja Protestan Maluku (GPM)
terbesar dan terbakar habis pada hari setelah Natal. Pada hari yang sama hampir
800 Muslim di mesjid desa Tobelo dibunuh oleh pihak Kristen. Pada 7 Januari
2000, setelah pembantaian di Tobelo, lebih dari 100.000 Muslim mengadakan
protes di Jakarta di Lapangan Monas, menyerukan jihad di Maluku.
Ketidakmampuan pemerintah untuk
menangani konflik menyebabkan kebangkitan Front Kedaulatan Maluku (FKM) pada
2000, sebuah gerakan yang mengangkat warisan Republik Rakyat Maluku (RMS). RMS
dibentuk 1950 dan mengadvokasi kaum separatis dari negara yang didominasi
Muslim. RMS kemudian dianggap sebagai gerakan Kristen yang memperburuk dinamika
konflik antar agama.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
penurunan kekerasan pada akhir 2001. Serangan yang berkepanjangan telah
memisahkan masyarakat, sehingga secara logistik lebih sulit bagi orang Muslim
dan Kristen untuk menyerang satu sama lain. Sebuah batalion gabungan khusus,
Yongab, terdiri dari pasukan khusus angkatan darat, angkatan laut dan angkatan
udara, melakukan operasi terutama melawan Laskar Jihad, termasuk terhadap basis
mereka. Pada akhirnya, orang Maluku sering mengatakan bahwa mereka telah lelah
bertempur. Pemerintah pusat memulai perundingan damai antara komunitas Kristen
dan Muslim yang saat itu, pada tahun 2002, memuncak pada perjanjian perdamaian
Malino II.
Kekerasan sporadis dan pemboman berlanjut
(termasuk serangan terhadap kantor DPRD dan gubernur) tapi banyak berkurang
dalam frekuensi dan intensitas sehingga status darurat sipil dihapus di Maluku
pada 2003. Titik balik penting lainnya adalah serangan pada April 2002 di desa
Soya, di mana 11 orang meninggal dan 22 rumah dibom. Penduduk Soya adalah orang
Kristen yang menganggap mereka aman dari serangan karena letaknya yang jauh
dari komunitas Muslim.
Sebuah penyelidikan mengungkapkan bahwa
Kopassus (pasukan khusus TNI) dan sebuah geng Kristen yang melakukan serangan
tersebut, bukan pihak Muslim seperti dicurigai pada awalnya.27
Menurut banyak pengamat, Kopassus mencoba memperpanjang konflik dengan menyewa
geng Kristen untuk melakukan serangan. Berty Loupatty, salah satu pemimpin
preman Kristen, mengaku jika serangan Soya sebenarnya adalah perintah Kopassus.
Hal ini memberikan pihak Kristen dan Muslim sebuah alasan yang sama atas
penolakan mereka terhadap tentara. Sebuah kesamaan perasaan sebagai korban
mengurangi tingkat konflik komunal.
Pada April 2004, lebih dari 40 orang
tewas dalam kerusuhan menyusul pengibaran bendera RMS dirumah pemimpin FKM.
Kerusuhan pecah lagi di kota Ambon tapi mereda dalam waktu satu minggu.
Menyusul kerusuhan ini, pemboman kecil – kecilan terjadi tetapi tidak memicu reaksi
keras dari masyarakat lokal.
Kronologi Konflik Maluku
1999
|
Januari
|
Perkelahian jalanan yang kecil
meningkat menjadi kerusuhan di kota Ambon dan sekitarnya.
|
Maret
|
Kekerasan massal menyebar ke pulau
lain di Maluku.
|
|
Mei
|
Kampanye pemilihan umum dimulai dan
kekerasan berkurang.
|
|
Juni
|
Pemilihan umum.
|
|
Juli
|
Kekerasan massal dimulai lagi di
kota Ambon.
|
|
Oktober
|
Provinsi Maluku Utara dipisah dari
Provinsi Maluku.
|
|
Desember
|
Konflik meningkat setelah gereja
Silo dibakar dan pembantaian terjadi di desa Muslim Tobel.
|
|
2000
|
Mei
|
Laskar Jihad tiba di Ambon.
|
Juni
|
Pembantaian di Galela dekat Tobelo
di Maluku Utara.
Senjata polisi dicuri dan
disebarkan ke masyarakat sipil.
Darurat sipil diberlakukan di
Maluku dan Maluku Utara dan ribuan tentara dikerahkan.
|
|
Desember
|
Front Kedaulatan Maluku (FKM)
menyatakan kemerdekaan Republik Maluku Selatan (RMS).
|
|
2001
|
Januari
|
Batalyon Gabungan (Yongab)
melakukan “operasi pembersihan” dengan target kelompok garis keras Muslim.
|
Juni
|
Yongab melakukan “operasi
pembersihan” lainnya.
|
|
2002
|
Pebruari
|
Perjanjian Damai Malino (Malino II)
ditandatangani.
|
April
|
Kantor pemerintahan provinsi Maluku
dibakar.
Desa Soya diserang, setelah itu
kekerasan mulai berkurang di Maluku.
|
|
Mei
|
Pemimpin Laskar Jihad, Ja’far Umar
Talib dan FKM, Alex Manuputti ditangkap.
|
|
Oktober
|
Laskar Jihad hilang dari Maluku.
|
|
2003
|
Mei
|
Darurat sipil dicabut dari provinsi
Maluku Utara.
|
September
|
Darurat sipil dicabut dari provinsi
Maluku.
|
|
2004
|
April
|
FKM mengibarkan bendera RMS, memicu
kerusuhan di kota Ambon yang menewaskan 40 orang.
|
Juni
|
Pemilihan umum.
|
B. Pendorong/Penyebab terjadinya Konflik
Konflik di Maluku sering digambarkan
sebagai permusuhan lama antara umat Muslim dan Kristen, walaupun kenyataannya
lebih kompleks. Akibat keterlibatan Eropa dalam perdagangan rempah pada abad
ke-16, hampir sekitar setengah dari penduduk Maluku sekarang adalah orang
Kristen (50.2 persen menurut sensus tahun 2000); dibandingkan wilayah lain di
Indonesia di mana 88 persen penduduknya adalah Muslim.
Selama kurang lebih 350 tahun Belanda
menjajah Indonesia, membagi masyarakat Maluku menurut garis agama, secara
geografis dan sosial. Praktek – praktek
tradisional diperkirakan telah meredam ketegangan antara pihak Kristen dan
Muslim dalam kondisi yang stabil sampai pada1970-an. ‘Pela –Gandong’,
sebuah sistem aliansi desa yang unik di Maluku Pusat, mengikat desa – desa
Kristen dan Muslim bersama – sama dan memainkan peran penting dalam hubungan
sosial tradisional dan pengalaman identitas budaya. Maluku mengalami banyak perubahan
sosial selama kepemerintahan Soeharto.
Hubungan damai antara Kristen dan Muslim
yang terlihat hanyalah lapisan luarnya saja. Penjajahan Belanda mengakibatkan
orang Kristen diberi akses yang lebih besar dalam pendidikan dan posisi
politik, sedangkan Muslim menjadi mayoritas pedagang dan pebisnis.
Menyusul kebijakan pemerintah untuk
transmigrasi yang dimulai pada 1950-an, migrasi sukarela dari Bugis, Buton dan
Makassar yang bertumbuh pada 1970-an, penduduk Maluku yang Muslim makin
bertambah. Pada 1990, Soeharto mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI) sebagai alat untuk mengamankan dukungan politik dari kelompok Islam
ketika kekuasaannya atas militer memudar.
Soeharto menggunakan ICMI sebagai
penyeimbang terhadap militer. ICMI menjadi sumber yang penting bagi perorangan
untuk jabatan pemerintahan yang penting, termasuk di Maluku. Pada 1992, M. Akib
Latuconsina, direktur ICMI di Maluku diangkat menjadi gubernur. Beliau adalah
orang Maluku pertama dan orang sipil pertama yang memegang jabatan tersebut,
yang biasanya selalu ditempati oleh pejabat militer dari Jawa. Pada 1996, semua
bupati di provinsi adalah Muslim. Perubahan ini membuat kesal penduduk Kristen
dan lebih lagi membagi Maluku ke dalam garis agama.
C. Tokoh dan Inisiatif Pengelolaan Konflik
Berbagai
upaya telah diambil untuk mengakhiri konflik, termasuk yang dipimpin oleh
petugas keamanan; pemerintahan pusat dan daerah; LSM internasional dan lokal;
masyarakat lokal dan kelompok perempuan. Dua pendekatan yang luas terhadap
pengelolaan konflik di Maluku muncul dari upaya berikut: pendekatan keamanan
dan darurat; dan pendekatan pemulihan dan pembangunan.
Pengelolaan
konflik sebelum Perjanjian Damai Malino pada Februari 2002 (Malino II) sebagian
besar adalah bersifat reaktif. Tidak ada strategi atau perencanaan jangka
panjang baik oleh Pemerintah maupun masyarakat sipil. Alat pengelolaan konflik
yang utama digunakan adalah pengiriman bantuan dan keamanan, mengandalkan pada
militer yang didatangkan dari luar Maluku. Malino II adalah sebuah titik balik
yang signifikan ditandai dengan pengalihan ke pendekatan pemulihan dan
pembangunan.
Setelah
proses perdamaian Malino II, pemerintah pusat dan daerah menggunakan perangkat
hukum – menangkap dan menuntut mereka yang memegang senjata dan melakukan serangan
– dan fokus kepada perencanaan pembangunan jangka panjang dan pemulihan.
Masyarakat sipil juga mengalihkan pendekatannya dari bantuan darurat ke
pembangunan dan pemulihan.
·
Upaya
– upaya dari masyarakat lokal untuk menyelesaikan konflik
Sebelum kedatangan bantuan darurat
dari pemerintah pusat dan badan – badan internasional ke Ambon, masyarakat
lokal sangat bergantung kepada lembaga – lembaga keagamaan untuk mendapat
bantuan. Seperti yang dikatakan oleh seorang penduduk Warigin di kota Ambon: “Kami
menolong dan mendukung satu sama lain dengan membagi persediaan
makanan dan kebutuhan pokok lainnya, dan menerima pengungsi di rumah
kami. Tidak ada seorangpun yang menolong kami untuk waktu yang lama.
Kami bertahan hidup sendiri sampai bantuan darurat datang.”[1]
Di antara masyarakat Kristen,
gereja – gereja berfungsi sebagai pusat distribusi untuk bantuan darurat.[2]
Bantuan dalam masyarakat Muslim kurang teratur, dengan mesjid – mesjid
yang hanya berfungsi sebagai tempat penampungan bagi umat Muslim. Pada fase
konflik ini, ‘damai’ dianggap sebagai kata yang tabu dalam banyak komunitas.
·
Peran perempuan
“Perempuan memiliki peran yang
berpengaruh dalam keluarga. Sebagai istri, perempuan dapat membujuk suami
mereka untuk tidak terlibat dalam konflik dan sebagai ibu, mereka dapat
mendidik anak – anak mereka untuk tidak berprasangka terhadap agama lain.”[3]
Perempuan memainkan peran yang
aktif dalam upaya penciptaan perdamaian di ambon. Pertemuan antar agama
dikalangan pengungsi perempuan tidak hanya menjamin distribusi bantuan darurat
kepada pengungsi, tapi juga menjadi ajang untuk rekonsiliasi antara perempuan
Muslim dan Kristen.
Perempuan cukup aktif dalam
organisasi sebagi bentuk kepedulian mereka menciptakan perdamaian. Salah satu
contoh yang kuat adalah Gerakan Perempuan Peduli (GPP) yangdibentuk pada
September 1999 oleh lebih dari 40 aktivis perempuan Muslim, Protestan dan
Katolik. Mereka mengorganisir aksi menentang kekerasan di Maluku bahkan ketika
konflik mencapai puncaknya. Mereka juga mengatur pertemuan dengan pejabat
pemerintah dan keamanan, pemimpin agama dan pemuda, juga melatih relawan
perempuan di lapangan mengenai mediasi dan konseling. GPP juga bekerjasama
dengan organisasi – organisasi perempuan di Maluku.
D. Solusi
Pada dasarnya konflik yang terjadi di
Maluku bukan semata-mata karena masalah agama saja. Banyak aspek lain yang
menjadi pemicu pecahnya konflik ini sehingga menewaskan ribuan korban. Namun,
perbedaan agama yang dianut oleh masyarakat setempat menarik satu poin penting
bahwa pemicu konflik terbesar pada persengketaan Ambon tahun 1998 silam adalah
karena perselisihan agama.
Untuk mengatasi konflik semacam ini, ada
beberapa pihak yang harus berperan dalam menciptakan perdamaian dan
menyelesaikan persengketaan, di antaranya :
1. Peran Pemerintah
Peran
pemerintah dalam menyelesaikan konflik bangsanya seyogyanya menjadi tugas besar
yang harus benar-benar direlisasikan. Pemerintah harus bisa mengkoordinir dan
mengambil alih untuk bertindak secara cepat meredam konflik yang tengah
terjadi.
Melalui
panglima angkatan militer, pemerintah memberikan komando khusus untuk segera
menyelesaikan konflik ke tempat kejadian. Dengan melakukan langkah-langkah yang
tegas dan nyata terhadap masyarakat yang bersengketa berdasarkan instruksi
pemerintah, maka akan menjadi awal yang tepat mengurangi pertikaian yang
terjadi.
Selanjutnya,
pembagian kekuasaan yang tidak merata dari agama tertentu yang menjadi salah
satu pemicu konflik, sepatutnya tidak terjadi. Untuk itu, sebaiknya pembagian
kekuasaan dalam memegang jabatan dilimpahkan kepada orang-orang yang mumpuni di
bidangnya, dengan tidak memandang status agamanya.
2. Peran Pasukan Militer
Angkatan
bersenjata, yakni pasukan militer seharusnya terjun secara aktif melakukan
pengamanan di tengah pertikaian. Sebagai personil pertahanan negara, pasukan
militer wajib berperan besar membantu menyelesaikan konflik dengan strategi dan
tak-tik pengamanan yang tepat dan tanggap.
Kesiagaan
pasukan militer, dapat ditunjukkan salah satunya dengan persediaan senjata yang
memadai dan fungsional. Di samping itu, kesiapan para personil baik fisik
maupun mental juga menentukan seberapa besar dan berpengaruh peran pasukan
pengamanan bagi masyarakat.
3. Kesadaran Masyarakat
Untuk
menghindarkan adanya konflik antaragama, interaksi dan komunikasi antarkelompok
agama perlu diselenggarakan secara terbuka lewat perilaku sosial yang
akomodatif. Stogdill[4]
menyebutkan bahwa suatu sistem interaksi yang terbuka akan membantu integritas
dalam kelompok, menguatkan moral kelompok yang bertindak, berinteraksi dan menguatkan
harapan-harapan untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam
hal ini, bendera agama atau aliran kepercayaan tidak dapat dipergunakan sebagai
simbol interaksi. Hal ini untuk menghindari perbenturan perbedaan konsep
religius dan sentimen keagamaan yang tajam. Jadi, tema-tema kemanusiaan seperti
hak-hak asasi manusia, solidaritas sosial, pelacuran, perjudian, kriminalitas,
masalah kekerasan, harmoni hidup secara damai, dan berbagai penyakit masyarakat
lainnya, merupakan tema-tema yang perlu dikembangkan dalam proses interaksi dan
komunikasi antaragama
E. Kesimpulan
Walaupun banyak usaha perdamaian, tidak
ada strategi pengelolaan konflik yang jelas dan sedikit koordinasi antara
sejumlah tokoh di Ambon. Khususnya dalam kasus selama fase darurat, ketika baik
pemerintah pusat ataupun masyarakat sipil tidak memiliki rencana jangka panjang
atau pandangan ke masa depan dan pengelolaan konflik bersifat reaktif. Petugas
keamanan bertindak untuk mencegah kekerasan sementara pemerintah lokal dan
masyarakat sipil fokus kepada pendistribusian bantuan kemanusiaan. Kurangnya
koordinasi dan pertukaran informasi di antara pemangku kepentingan yang berbeda
merupakan masalah terbesar. Namun, beberapa komunitas lokal mengambil sebuah
strategi pengelolaan konflik yang efektif, seperti yang ditunjukkan oleh contoh
dari desa Wayame dan gerakan Baku Bae.
Banyak donor dan LSM internasional juga
meninggalkan Ambon menyusul tsunami di Aceh pada 2004 dan gempa bumi di
Yogyakarta pada 2005, membuat lebih sulit bagi LSM lokal di ambon untuk mengakses
anggaran untuk pemulihan pasca kekerasan. Hanya setelah penandatanganan
Perjanjian Perdamaian Malino II kemudian pemerintah pusat dan lokal secara
serius menangani isu – isu yang berhubungan dengan konflik. Prioritas
Pemerintah adalah rekonstruksi infrastruktur dan juga pemukiman kembali
pengungsi. Namun, kurangnya sistem pertanggungjawaban dan transparansi
mengakibatkan anggaran untuk pemulihan konflik seringkali disalahgunakan.
Selain itu, Pemerintah terlihat tidak
memberikan perhatian yang cukup terhadap keeratan sosial dan juga trauma yang
dialami para korban konflik, dan kebanyakan tugas ini diambil oleh masyarakat
sipil dan LSM. Banyak LSM lokal yang mengalami kesulitan ketika mereka
menggunakan dana untuk bantuan darurat tanpa perencanaan yang konkrit mengenai
apa yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal. Revitalisasi adat Maluku, dipimpin
oleh masyarakat sipil, adalah salah satu strategi pengelolaan konflik yang
lebih efektif.
Meskipun kekerasan terbuka telah
menurun, masalah masih tetap ada. Di Ambon, contohnya, ada masalah pemisahan,
pengangguran, sengketa tanah dan hak milik, meningkatnya migrasi dari Jawa dan
LSM yang dipisahkan oleh garis agama. Walaupun mempunyai wewenang, dengan
undang – undang desentralisasi untuk menciptakan peraturan sendiri (peraturan
daerah, perda), pemerintah daerah masih belum berhasil menawarkan kebijakan
yang jelas untuk menangani masalah struktural ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Pengelolaan
Konflik di Indonesia.pdf
Komunikasi
Multikultural
Mbak Fitri Lestari, anda telah menjiplak tulisan di atas dari Laporan LIPI, Current Asia, dan The Centre for Humanitarian Dialogue Juni 2011 berjudul, "Pengelolaan Konflik di Indonesia Sebuah Analisis Konflik Maluku, Papua dan Poso. Anda mulai jiplak dari halaman 16. Beberapa paragraph bahkan sama persis. Kronologi yang anda tampilkan di atas juga sama persis dengan di halaman 17. Jika ini resensi buku anda harus tulis dengan bahasa anda sendiri. Lalu kutipan langsung harus pakai tanda kutip dan berikan catatan kaki halaman yang anda kutip langsung. Bila ini makalah akhir anda, sayang sekali jika makalah akhir anda adalah hasil jiplak. Meski demikian saya menghargai niat anda untuk belajar, hanya anda harus belajar percaya diri dengan karya anda sendiri. Salam
BalasHapus