Kamis, 19 September 2013

Jembatan Cincin, Situs Kolonial Eksotis nan Mistis


Bila kita sedang berjalan-jalan di kampus Unpad Jatinangor, tepatnya di depan Fakultas Ilmu Komunikasi tak ada salahnya jika kita menengok ke arah sebrang gedung tersebut. Di sana kita akan melihat sebuah jembatan tua yang cukup menarik perhatian. Jembatan yang sudah berusia senja itu oleh masyarakat sekitar biasa disebut dengan Jembatan Cincin.
“Jembatan Cincin mulai dibangun sejak tahun 1918 hingga 1942. Saat ini sudah tidak ada lagi kereta yang lewat”, ujar Mulyana, salah satu ‘sesepuh’ yang sudah puluhan tahun tinggal di dekat jembatan cincin. Tidak banyak yang tahu memang, bahwa sebenarnya tanah di Jembatan itu bukanlah milik Belanda. Namun para kolonial Belanda mengklaim secara paksa karena pada saat itu Indonesia masih menjadi daerah jajahan Belanda.
Sebagai warga jajahan, rakyat Indonesia tak bisa berbuat banyak melawan kelicikan para penjajah. Dengan berat hati, rakyat Indonesia menyerahkannya kepada Belanda. Hal ini  terpaksa dilakukan karena pemerintah Hindia Belanda mengancam akan membunuh jika Indonesia tidak menyerahkan lahan tersebut. Namun rakyat mengajukan satu syarat penting yang harus disetujui Belanda. Yakni Belanda tidak boleh mengganggu komplek pemakaman yang ada di bawahnya. Setelah mencapai kesepakatan, Jembatan Cincin pun dibangun.
Jembatan Cincin dibangun oleh perusahaan kereta api Belanda yang bernama Staat Spoorwagen Verenidge Spoorwegbedrijf pada tahun 1918. Jembatan Cincin ini pada mulanya dibangun sebagai rel kereta api untuk penunjang lancarnya kegiatan perkebunan karet. Jembatan ini berguna untuk membawa hasil perkebunan.
Rel kereta api tersebut telah berperan sebagai jalan penghubung bagi Belanda untuk mengantarkan hasil perkebunan dari daerah Jatinangor menuju Bandung. Jembatan ini jua lah yang menjadi akses jalan terbaik dari daerah Tanjungsari ke Rancaekek. Namun seiring berjalannya waktu, kereta yang awalnya digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan, lama kelamaan menurut Mulyana, digunakan juga sebagai transportasi bagi kedua warga negara.
Memasuki tahun 1942, Jepang berhasil merebut Indonesia dari tangan Belanda. Maka secara otomatis, Jembatan Cincin pun diambil alih oleh Jepang sebagai negara penjajah yang menggantikan kekuasaan negara kincir angin itu. Namun sayang seribu sayang, setelah Jembatan Cincin dikuasai Jepang ternyata diluluhlantahkan begitu saja. Pembangunan yang memakan waktu lebih dari dua puluh tahun itu ternyata hanya menjadi goresan sejarah yang dibinasakan. Kolonial Jepang dengan mudahnya menghancurkan rel, semudah membalikkan telapak tangan.  Tiang-tiang dan besi tua yang menjadi rel di jembatan itu dibongkar dan dibawa paksa oleh pemerintah kolonial Jepang. Semenjak itulah, kegiatan “per-kereta api-an” di Jembatan Cincin terhenti.
Namun, hingga saat ini, Jembatan Cincin masih digunakan oleh masyarakat sebagai jalan penyambung antara Desa Cikuda dan Desa Cisaladah. Di samping itu pula Jembatan ini juga digunakan oleh mahasiswa yang tinggal atau pun kost di daerah Cikuda untuk menuju kampus Unpad. Sungguh situs warisan kolonial yang eksotis.
Menyimpan Kisah Mistis
Selain di balik nilai sejarahnya yang memukau, menurut warga sekitar jembatan ini pun memiliki cerita-cerita mistis. Tak heran, karena dulu tanah di bawah perlintasan jembatan ini adalah area pemakaman. Maka wajar saja jika warga merasakan ada nuansa mistis yang seolah menyelimuti sekitaran Jembatan Cincin itu.
Konon jika dilihat dari sisi metafisik jembatan cincin memang terdapat mahluk-mahluk astral yang berdiam diri di sekitar jembatan. Disana yang paling sering menampakan diri adalah sosok wanita berbaju merah dengan gerakan terbang melayang di atas jembatan. Suara  tertawanya bak seorang “kuntilanak” sehingga tak jarang membuat warga merasa kaget ketika melewati jembatan di malam hari. Keberadaan Jembatan Cincin kini terlihat semakin angker karena banyak ditumbuhi rumput liar, dan juga minimnya perawatan.
Warisan pemerintah Kolonial Belanda ini ternyata menyimpan nilai histori yang eksotis nan mengandung mistis. Keberadaannya yang tak begitu diketahui oleh banyak orang, membuatnya semakin tersembunyi di antara sederetan rangkaian sejarah pada zaman pra kemerdekaan. Peninggalan yang mengingatkan kita akan pentingnya sejarah ini, seolah mengangkat kembali cerita-cerita masa silam yang patut dikenang untuk menggoreskan sejarah di masa yang akan datang.
Wartawan: Harry Handhoko
Editor: Fitri Lestari

1 komentar: