Bila kita sedang berjalan-jalan di
kampus Unpad Jatinangor, tepatnya di depan Fakultas Ilmu Komunikasi tak ada
salahnya jika kita menengok ke arah sebrang gedung tersebut. Di sana kita akan
melihat sebuah jembatan tua yang cukup menarik perhatian. Jembatan yang sudah
berusia senja itu oleh masyarakat sekitar biasa disebut dengan Jembatan Cincin.
“Jembatan Cincin mulai dibangun sejak
tahun 1918 hingga 1942. Saat ini sudah tidak ada lagi kereta yang lewat”, ujar
Mulyana, salah satu ‘sesepuh’ yang sudah puluhan tahun tinggal di dekat
jembatan cincin. Tidak banyak yang tahu memang, bahwa sebenarnya tanah di
Jembatan itu bukanlah milik Belanda. Namun para kolonial Belanda mengklaim
secara paksa karena pada saat itu Indonesia masih menjadi daerah jajahan
Belanda.
Sebagai warga jajahan, rakyat Indonesia
tak bisa berbuat banyak melawan kelicikan para penjajah. Dengan berat hati,
rakyat Indonesia menyerahkannya kepada Belanda. Hal ini terpaksa dilakukan karena pemerintah Hindia
Belanda mengancam akan membunuh jika Indonesia tidak menyerahkan lahan
tersebut. Namun rakyat mengajukan satu syarat penting yang harus disetujui
Belanda. Yakni Belanda tidak boleh mengganggu komplek pemakaman yang ada di
bawahnya. Setelah mencapai kesepakatan, Jembatan Cincin pun dibangun.
Jembatan Cincin dibangun oleh perusahaan
kereta api Belanda yang bernama Staat
Spoorwagen Verenidge Spoorwegbedrijf pada tahun 1918. Jembatan Cincin ini
pada mulanya dibangun sebagai rel kereta api untuk penunjang lancarnya kegiatan
perkebunan karet. Jembatan ini berguna untuk membawa hasil perkebunan.
Rel kereta api tersebut telah berperan
sebagai jalan penghubung bagi Belanda untuk mengantarkan hasil perkebunan dari
daerah Jatinangor menuju Bandung. Jembatan ini jua lah yang menjadi akses jalan
terbaik dari daerah Tanjungsari ke Rancaekek. Namun seiring berjalannya waktu,
kereta yang awalnya digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan, lama kelamaan
menurut Mulyana, digunakan juga sebagai transportasi bagi kedua warga negara.
Memasuki tahun 1942, Jepang berhasil
merebut Indonesia dari tangan Belanda. Maka secara otomatis, Jembatan
Cincin pun diambil alih oleh Jepang
sebagai negara penjajah yang menggantikan kekuasaan negara kincir angin itu.
Namun sayang seribu sayang, setelah
Jembatan Cincin dikuasai Jepang ternyata diluluhlantahkan begitu saja.
Pembangunan yang memakan waktu lebih dari dua puluh tahun itu ternyata hanya
menjadi goresan sejarah yang dibinasakan. Kolonial Jepang dengan mudahnya menghancurkan
rel, semudah membalikkan telapak tangan.
Tiang-tiang dan besi tua yang menjadi rel di jembatan itu dibongkar dan
dibawa paksa oleh pemerintah kolonial Jepang. Semenjak itulah, kegiatan
“per-kereta api-an” di Jembatan Cincin terhenti.
Namun, hingga saat ini, Jembatan Cincin masih digunakan oleh
masyarakat sebagai jalan penyambung antara Desa Cikuda dan Desa Cisaladah. Di
samping itu pula Jembatan ini juga digunakan oleh mahasiswa yang tinggal atau
pun kost di daerah Cikuda untuk menuju kampus Unpad. Sungguh situs warisan
kolonial yang eksotis.
Menyimpan Kisah Mistis
Selain di balik nilai sejarahnya yang
memukau, menurut warga sekitar jembatan ini pun memiliki cerita-cerita mistis.
Tak heran, karena dulu tanah di bawah perlintasan jembatan ini adalah area
pemakaman. Maka wajar saja jika warga merasakan ada nuansa mistis yang seolah
menyelimuti sekitaran Jembatan Cincin itu.
Konon jika dilihat dari sisi metafisik jembatan cincin memang
terdapat mahluk-mahluk astral yang berdiam diri di sekitar jembatan. Disana
yang paling sering menampakan diri adalah sosok wanita berbaju merah dengan
gerakan terbang melayang di atas jembatan. Suara tertawanya bak seorang “kuntilanak” sehingga
tak jarang membuat warga merasa kaget ketika melewati jembatan di malam hari.
Keberadaan Jembatan Cincin kini terlihat semakin angker karena banyak ditumbuhi
rumput liar, dan juga minimnya perawatan.
Warisan pemerintah Kolonial Belanda
ini ternyata menyimpan nilai histori yang eksotis nan mengandung mistis.
Keberadaannya yang tak begitu diketahui oleh banyak orang, membuatnya semakin
tersembunyi di antara sederetan rangkaian sejarah pada zaman pra kemerdekaan.
Peninggalan yang mengingatkan kita akan pentingnya sejarah ini, seolah
mengangkat kembali cerita-cerita masa silam yang patut dikenang untuk
menggoreskan sejarah di masa yang akan datang.
Wartawan: Harry Handhoko
Editor: Fitri Lestari
thanks for info https://bit.ly/2D6voYK
BalasHapus