KHALAYAK KOMUNIKASI POLITIK
Ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Komunikasi Politik
Dosen:
Rusmulyadi, S.Ag., M.Si
Oleh:
Faisyal Abdul Karim 1211405050
Ferdi Munanjar 1211405052
Fitri Lestari 1211405054
M. Fathur Rabani 1211405055
PROGRAM
STUDI ILMU KOMUNIKASI JURNALISTIK
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN
GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
KATA
PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Alloh
Swt, Tuhan pencipta seluruh alam atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya
baik nikmat Islam, Iman dan Ihsan. Tiada daya dan upaya selain dari kesempatan
dan kekuatan-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw,
yang telah memimpin dan memberikan keteladanan bagi seluruh umat dalam
mempertahankan misi moral dengan ajaran agama yang benar, sehingga kami mampu menyelesaikan tugas yang diamanahkan
kepada kami, untuk membuat makalah tentang “ Khalayak Komunikasi Politik ” ini
tepat pada waktunya.
Makalah ini sebagai
salah satu media pembelajaran yang baik guna menunjang dalam proses
pembelajaran Mahasiswa/i. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
semuanya.
Akhirnya kami
sampaikan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa/i dan semua pihak yang telah
mendukung dalam pembuatan makalah ini. Do’a dan dukungan yang mampu memberi
kami dorongan semangat dan kekuatan sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
kami menyadari bahwa
makalah ini tentunya jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, kami menerima segala
kritik dan saran guna kesempurnaan makalah ini.
Bandung, Maret
2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang ................................................................................... 1
I.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
I.3. Tujuan ................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
II.1.
Tentang Khalayak Komunikasi Politik ............................................... 3
II.2. Khalayak Menurut Perspektif Individual dan Sosio-Kultural ....................... 4
II.3. Faktor Pribadi yang Mempengaruhi Khalayak ................................... 5
II.4. Faktor Situasional yang
Mempengaruhi Khalayak ................................... 9
II.5. Khalayak Komunikasi Politik yang Ideal ............................................... 10
II.6. Contoh Kasus ................................................................................... 11
BAB III
: PENUTUP
III.1. Kesimpulan ................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kegiatan
politik saat ini merupakan sebuah hal umum yang menjadi makanan sehari-hari
masyarakat luas atau dalam kata lain disebut dengan publik. Melihat semakin
menggeliatnya hal-hal yang berhubungan dengan politik, maka semakin
diperlukannya pemahaman tentang politik dan bagaimana komunikasi politik itu
sebenarnya. Merujuk pada pemahaman Harold D. Laswell, jika komunikasi terdiri
dari unsur-unsur seperti komunikator, pesan, saluran/media, komunikan dan efek.
Maka dalam komunikasi politik pun melibatkan unsur-unsur tersebut sebagai
kajian utamanya.
Sebagai
seorang masyarakat dari suatu pemerintahan, maka kita pastilah terlibat dalam
sebuah kegiatan politik. Baik itu kita berperan sebagai komunikator komunikasi
politik ataukah sebagai komunikan/khalayak komunikasi politik.
Mungkin
dalam dalam makalah ini kami ingin membahas lebih dalam mengenai peran
masyarakat sebagai khalayak komunikasi politik, karena pasti mayoritas dari
kita berperan sebagai khalayak dari sebuah kegiatan komunikasi politik. Untuk
membangun negara kita menjadi negara yang lebih baik maka kita harus menjadi
khalayak komunikasi yang baik pula. Oleh sebab itu, pengetahuan dan pemahaman
tentang khalayak komunikasi politik haruslah menjadi sebuah poin penting yang
diharapkan bisa menjadikan masyarakat kita sebagai khalayak komunikasi politik
yang pintar dalam melakoni kegiatan-kegiatan politiknya.
I.2 Rumusan Masalah
a)
Apa itu khalayak komunikasi politik
b)
Khalayak dilihat dari berbagai
perspektif
c)
Faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi dan respon khalayak
d)
Bagaimana khalayak komunikasi yang
ideal
e)
Contoh kasus
I.3 Tujuan
Dengan
pembahasan materi dalam makalah ini diharapkan kita bisa mengerti dan memahami
apa dan bagaimana khalayak komunikasi politik itu sebenarnya, juga sebagai
masyarakat kita bisa menjadi khalayak politik yang pintar dalam menentukan
langkah-langkah yang akan diambil dalam sebuah kegiatan politik. Selain itu apabila
kita berposisi sebagai komunikator politik, maka bisa mempertimbangkan
pesan-pesan politik yang akan kita sampaikan karena kita telah mengerti tentang
khalayak politik yang menjadi tujuan kita.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Tentang Khalayak Komunikasi Politik
Khalayak
adalah sejumlah orang yang heterogen, mereka menjadi khalayak komunikasi
politik segera setelah mereka “mengkristal” menjadi opini publik. Nimmo
berpandangan jika opini publik adalah abstraksi dari khalayak komunikasi
poliitk (Dan Nimmo, 2010). Khalayak sering diartikan sebagai masyarakat luas
atau kadangkala juga disebut sebagai publik.
Hennesy (dalam Nasution 1990), berkenaan dengan pelapisan khalayak
komunikasi politik, membedakan publik sebagai berikut:
(adiprakosa.blogspot.com)
a)
publik umum
(general public)
b)
publik yang
penuh perhatian (the attentive public)
c)
elit opini
dan kebijakan (the leadership public)
Elit opini dan kebijakan merupakan kalangan yang paling aktif minatnya
dalam masalah kepemerintahan dan seringkali sebagai pelaku politik. Sedangkan
publik attentive merupakan khalayak yang menaruh perhatian terhadap
diskusi-diskusi antar elit politik dan seringkali termobilisasi untuk bertindak
dalam kaitan suatu permasalahan politik. Publik umum terdiri dari hampir
separuh penduduk, dalam kenyataannya jarang berkomunikasi dengan para pembuat
kebijakan.
Publik attentive merupakan khalayak utama (key audience) dalam komunikasi
politik, karena lapisan publik inilah yang berperan sebagai saluran komunikasi
antar pribadi dalam arus pesan timbal balik antara pemimpin politik dengan
publik umum. Para politisi biasanya mempersepsikan gelombang arus opini di
kalangan publik attentive sebagai representasi dari apa yang diyakini, dinilai,
dan diharapkan oleh publik umum (yang kurang berperhatian kepada politik semasa
periode di antara dua pemilu). Dengan kata lain, khalayak yang mempunyai
perhatian itu merupakan lapisan masyarakat yang berkemauan untuk mengikuti
dalam perkembangan politik yang berlangsung. Khalayak yang berperhatian
terhadap perkembangan yang berlangsung yang menyangkut kepemerintahan dan
politik, merupakan suatu faktor yang amat diperlukan bagi terlaksananya sistem
politik yang sehat.
Selain pengelompokan publik menurut Hannesy, khalayak komunikasi politik
juga dibagi kedalam beberapa kelompok menurut peneliitan Almond dan Verba
(dalam Nasution 1988). (adiprakosa.blogspot.com)
Khalayak komunikasi politik tersebut dikelompokan menjadi high subjective
political competence, medium political competence, dan low competence. Mereka
yang termasuk tinggi dalam skala subjective competence-nya ternyata besar
sekali kemungkinannya merupakan orang-orang yang memang membiarkan dirinya
dikenai (exposed) komunikasi politik. Mereka yang tergolong high subjective
competence oleh Almond dan Verba disebut sebagai self confident citizen yang
berkemungkinan tidak hanya sekedar menjadi penerima(khalayak) dalam komunikasi
politik, melainkan besar pula kemungkinannya untuk mengambil bagian dalam
proses komunikasi politik itu sendiri.
II.2 Khalayak Menurut Perspektif
Individual dan Sosio-Kultural
Johnston
dalam The Art & Science Persuasion (1994) menyatakan bahwa ada dua
perspektif yang dapat digunakan untuk melihat siapa khalayak sebenarnya. Yang
pertama disebut perspektif individual dan kedua adalah perspektif
sosiokultural.
a.
Perspektif
individual
Perspektif
individual melihat khalayak sebagai individu yang memiliki pandangan pribadi
tentang dunia berdasarkan karakteristik personal yang dimilikinya. Menurut
perspektif ini, efek dari pesan-pesan persuasif sulit diperkirakan.
Bagaimanapun hebatnya pelaku kampanye, khalayak tidak akan begitu saja menuruti
apa yang dikatakan mereka. Alasannya karena khalayak memiliki kemampuan untuk
mengacuhkan, menolak bahkan memberi interpretasi apapun (walaupun salah) atas
pesan yang disampaikan pelaku kampanye. Khalayak adalah individu-individu yang
berpikir, memiliki perasaan, mengevaluasi, menentukan, beraksi dan bereaksi
atas sesuatu. Karena alasan-alasan ini maka pesan-pesan kampanye akan
dipersepsi secara berbeda oleh tiap individu dan akhirnya menghasilkan efek
yang beragam pula.
b.
Perspektif
sosio-kultural
Dalam
perspektif sosio-kultural, khalayak sebagai produk budaya, dimana faktor-faktor
di luar dirinya (faktor eksternal dan situasional) sangat memengaruhi respons
dan perilaku yang muncul. Perspektif ini memandang pesan-pesan kampanye dapat
menimbulkan efek yang relatif seragam pada khalayaknya berdasarkan asumsi bahwa
khalayak adalah kumpulan orang orang yang saling berinteraksi dan saling
berbagi keyakinan, nilai dan norma-norma budaya. Khalayak dipandang sebagai produk budaya
tertentu, yang di dalamnya terdapat berbagai sub-sub budaya (seperti ABRI,
waria, kelompok pertemanan atau sub budaya petani). Maka cenderung merespons pesan kampanye berdasarkan acuan
normatif (budaya) yang mereka miliki bersama.
II.3 Faktor-Faktor Pribadi yang Mempengaruhi
Persepsi dan Respon Khalayak
Berbagai
temuan di bidang psikologi, khususnya yang terkait dengan studi tentang
persepsi menyimpulkan bahwa sebagian besar orang akan menanggapi informasi yang
menerpa mereka berdasarkan keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang dimiliki.
Karena pentingnya ketiga konstruk psikologis ini dalam menentukan cara
seseorang bereaksi terhadap stimulus atau pesan tertentu, maka akan sangat
bermanfaat bila pada bagian ini dibicarakan ketiga aspek tersebut secara rinci.
Pembahasan
akan dimulai dengan menganalisis konsep keyakinan, sikap dan nilai secara
berturut-turut lalu dilengkapi dengan konsep kepribadian dan kebutuhan khalayak
yang menurut Ferguson (1999) juga memberikan pengaruh signifikan terhadap cara
orang meresepsi dan merespons sebagai stimulus yang hadir.
a)
Keyakinan
“A
belief is an assertion we perceive to be true”, demikian ungkap Johnston
(1994). Jadi keyakinan adalah pernyataan yang kita persepsi sebagai sesuatu
yang benar. Keyakinan umumnya merujuk pada dua objek kognitif yang saling
berkaitan dimana yang satu menerangkan yang lain. Pernyataan-pernyataan
seperti; “Bumi ini bulat”, “Manusia memiliki kebebasan kehendak”, “Manusia
adalah aset perusahaan”, merupakan contoh keyakinan yang mempertalikan dua
objek kognitif.
Dari
contoh-contoh di atas, dapat didefinisikan tiga ciri pokok keyakinan yakni (1)
keyakinan dapat beragam kekuatannya karena konstruk ini bersifat probabilistik,
(2) keyakinan yang ada berkaitan dengan sistem keyakinan (belief system), dan
(3) keyakinan memiliki berbagai lapisan yang masing-masing mengindikasikan
jenis keyakinan yang berbeda. Setiap orang mempunyai apa yang disebut keyakinan
(belief systems) yang berfungsi sebagai penyaring berbagai rangsangan yang
menerpa dirinya.
Menurut
Rokeach, (Johnston, 1994; Ferguson, 1999), setiap individu pada dasarnya
memiliki lima lapisan keyakinan mulai dari yang paling dalam (core beliefs)
hingga yang paling luar (peripheral beliefs). Rokeach menganalogikan kelima
pesan keyakinan tersebut dengan sebuah bawang yang memiliki kulit
berlapis-lapis.
Lapisan
keyakinan yang pertama disebut inconsequential beliefs atau keyakinan yang
tidak memiliki konsekuensi apapun. Keberlangsungan keyakinan pada bagian ini
tidak membutuhkan konsensus sosial, dalam arti kita tidak membutuhkan pandangan
atau perbandingan dengan orang lain ketika hendak mengubah konsep keyakinan
yang berada pada lapisan ini. Karena itu lapisan bagian ini yang paling siap
merespons pesan-pesan persuasi yang menerpa seseorang dan lapisan ini pula yang
paling terbuka untuk perubahan.
Lapisan
yang kedua disebut derived beliefs yang didasarkan pada pemegang otoritas
sebagai pejabat pemerintah, polisi, politikus, media massa bahkan teman yang
memiliki kredibilitas di mata kita. Karena kita mempercayai mereka, maka kita
menerima keyakinan yang muncul dari mereka.
Authority
beliefs adalah lapisan yang berada di bagian tengah dari kelima lapisan
keyakinan yang ada. Konsep keyakina ini sangat spesifik karena berkaitan dengan
‘siapa orang yang patut kita percayai dan siapa saja yang tidak’. Setiap orang
termasuk anak-anak dapat menaruh kepercayaan pada seseorang yang memiliki
otoritas tertentu dan pada pemegang otoritas lainnya.
Berikutnya
adalah lapisan yang keempat, yakni yang disebut primitive-without-consensus
beliefs. Ini adalah bagian dari lapisan inti atau core beliefs. Lapisan ini
sukar berubah karena terdiri dari konsep-konsep keyakinan yang secara pribadi
kita percayai benar dan kita tidak memerlukan konsensus untuk meyakininya.
Jenis keyakinan ini berpusat pada diri sendiri (ego centered).
Terakhir
adalah primitive-with-consensus beliefs yakni keyakinan yang merupakan inti
dari sistem keyakinan (central core beliefs) yang kita miliki. Kita memperoleh
keyakinan ini ketika kita masih sangat muda dan secara berkelanjutan kita
memantapkan keyakinan ini sepanjang hidup kita. Hal ini dimungkinkan karena
tingkat konsistensi keyakinan ini sangat tinggi.
b)
Sikap
Sikap
adalah salah satu topik dalam studi perilaku manusi yang paling banyak dikaji
secara mendalam. Sikap dapat didefinisikan sebagai ‘kecenderungan untuk
bertindak terhadap objek tertentu baik secara positif maupun negatif dengan
mendasarkan diri pada keyakinan-keyakinan yang terorganisasi’.
Dari
definisi tersebut dapat diidentifikasi empat aspek penting dari sikap. Pertama
sikap memiliki dimensi afektif. Komponen perasaan atau afektif ini menjadi
karakteristik utama sikap. Aspek inilah yang muncul ketika kita mengevaluasi
objek sosial dalam kategori baik-buruk, kuat-lemah, aktif-pasif dan seterusnya.
Kedua,
sikap adalah keyakinan-keyakinan yang terorganisasi. Sikap seseorang terhadap
objek atau orang tertentu tidak didasarkan pada keyakinan yang tunggal,
melainkan berlandaskan pada sekumpulan keyakinan. Ketika keyakinan-keyakinan
yang saling berkaitan digabungkan terbentuklah sikap.
Ketiga,
sikap bersifat relatif menetap. Pada dasarnya sikap itu relatif stabil dan
sulit untuk berubah. Namun demikianbukan berarti sikap tidak dapat diubah. Kita
dapat melakukannya dengan cara terlebih dahulu mengubah keyakinan (atau juga
nilai) yang mendasari sikap seseorang.
Keempat,
sikap merefleksikan komponen behavioral dari keyakinan-keyakinan individu.
Sikap merefleksikan kombinasi keyakinan sekitar objek atau situasi yang
merepresentasikan kecenderungan untuk merespons. Begitu kecenderungan terbentuk
maka ia akan memandu perilaku kita ketika menghadapi objek sikap yang sama.
Dari
uraian di atas kita melihat betapa sikap memiliki keterkaitan yang erat dengan
keyakinan. Dengan demikian, sikap memberikan warna pada persepsi dan
interpretasi kita tentang objek sosial tertentu.
c)
Nilai
Secara
sederhana, nilai adalah sesuatu yang ideal yang dikehendaki baik secara
personal maupun sosial. Nilai membimbing sikap atau perilaku seseorang atau
masyarakat kepada sesuatu yang mulia yang diyakini menjadi tujuan akhir
tindakan. Rokeach (Perloff, 1993) membedakan nilai menjadi dua yakni terminal
values dan instrumental values.
Jenis
nilai yang pertama berkaitan dengan ukuran tujuan akhir yang didasarkan pada
eksistensi. Nilai seperti ini biasanya diwujudkan dalam pernyataan singkat
seperti kebebasan, keadilan, kesejahteraan, kemajuan dan persamaan. Sementara
jenis nilai yang kedua adalah nilai instrumental. Nilai ini berkaitan dengan
cara bertindak yang diharapkan dari seseorang atau masyarakat dalam kerangka
terminal values. Nilai-nilai tersebut dapat meliputi; kerja keras, pikiran
terbuka, kegembiraan, percaya diri, sopan-santun, logis, kejujuran hingga
kemauan untuk memaafkan.
d)
Kebutuhan
Kebutuhan,
ujar Morreale & Bovee (1998) adalah persepsi kita tentang kesenjangan yang
ada antara apa yang kita punyai (what we have) dengan apa yang sepatutnya kita
punyai (what we like to have), antara ‘dimana kita’ (where we are) dengan
‘dimana kita hendaknya berada’ (Where we’d like to be).
Abraham
Maslow berteori bahwa orang mempunyai hierarki kebutuhan untuk bertindak; jika
ia memenuhi kebutuhan pada satu tingkat, muncullah tingkat kebutuhan yang lain.
Bagi Maslow, hierarki itu terdiri atas lima kebutuhan manusia sebagai berikut.
1.
Fisiologis:
makanan, pakaian, perumahan, udara, air, keturunan, dsb.
2.
Keamanan
dan keterjaminan: jaminan kesejahteraan, perlindungan terhadap serangan, dsb.
3.
Cinta
dan kebersamaan: afeksi, kebersamaan dengan orang lain, dsb.
4.
Penghargaan:
merasa diri berharga dan mampu.
5.
Aktualisasi
diri: rasa pemenuhan diri, kontrol atas lingkungan dan nasib sendiri, dan
kemampuan mencapai sesuatu yang diharapkan.
e)
Kepribadian
Faktor
terakhir yang memengaruhi perilaku manusia adalah kepribadian. Assael
(1998) mengartikan kepribadian sebagai
pola perilaku individu yang konsisten dan relatif permanen (personality is
defined as patterns of individual behavior that are consistent and enduring).
II.4 Faktor
Situasional yang Mempengaruhi Khalayak
Di
samping faktor-faktor pribadi seperti sikap, keyakinan, nilai, kebutuhan dan
kepribadian khalayak, pada kenyataanya, individu juga dipengaruhi oleh berbagai
faktor situasional ketika mereka menerima pesan. Sebuah pesan akan menimbulkan
efek yang berbeda apabila disampaikan pada seseorang atau sekelompok kecil
orang. Namun bila pesan tersebut disampaikan pada sejumlah besar orang yang
tidak terorganisasi atau kerumunan (crowd), maka efeknya cenderung sama.
Dalam
situasi kerumunan, seseorang menjadi mudah menerima pengaruh atau mudah atau
mudah dipengaruhi baik oleh pesan, komunikator atau oleh situasi apapun yang
tidak terduga. Pada kumpulan orang yang seperti ini maka terjadi apa yang
disebut propagation effect (efek perambatan) dimana reaksi yang muncul sifatnya
saling menguatkan dan merambt secara cepat. Dengan kata lain, mereka cenderung
akan memunculkan reaksi yang kuat dan seragam.
Ada
tiga hal yang dapat menjelaskan hilangnya batasan-batasan yang jelas dalam
kerumunan:
1.
Pendistribusian
tanggung jawab terjadi di anatar banyak orang, tidak pada satu orang;
2.
Adanya
sesuatu yang mengalihkan perhatian semua orang, sehingga mereka tidak dapat
berpikir jernih dan melakukan pertimbangan tertentu terlebih dahulu;
3.
Hasilnya
adalah perbuatan pada perilaku orang-orang tersebut menjadi perilaku kerumunan
sebagai perilaku normatif bagi mereka.
Seseorang
yang berada dalam kerumunan massa tidak dapat melihat dan menindaklanjuti semua
kejadian dengan objektif. Bahkan orang itu akan lebih mempercayai informasi
apapun yang ada dalam kerumunan tersebut, dari pada informasi yang telah
dibuktikan dengan pengalamannya sendiri.
Maraknya
aksi demonstrasi mahasiswa sejak bergulirnya reformasi tahun 1998 lalu, sering
kali memakan korban baik di pihak keamanan maupun dipihak mahasiswa sendiri.
Hal ini dipicu oleh terjadinya bentrokan fisik sebagai momok yang ditakuti oleh
kedua belah pihak. Mahasiswa yang menyandang sebutan insan intelektual,
tiba-tiba bereaksi seperti anak sekolah yang gemar tawuran. Di sisi lain,
aparat keamanan yang sebelumnya dilatih untuk mengikuti prosedur pengamanan
tertentu secara sistematis, seolah-olah menjadi bodoh dan lupa dengan segala
yang dipelajarinya selama pendidikan. Setiap orang seolah kehilangan identitas
dirinya dan bertindak menurut pemicu awal yang muncul dalam kerumunan tersebut.
Hasilnya, pemicu awal yang negatif akan memprovokasi keseragaman tindakan
negatif pula, dan terjadilah kekacauan dan kekerasan yang memakan korban jiwa.
II.5 Khalayak Komunikasi Politik yang Ideal
Baik dari sudut pandang ilmu politik, maupun dari sudut teori komunikasi
terdapat persamaan gambaran mengenai ciri-ciri khalayak yang ideal. Di antara
ciri itu adalah bahwa khalayak tersebut haruslah yang mempunyai perhatian untuk
mengikuti perkembangan politik yang terjadi di sekelilingnya (dalam proses
komunikasi dikenal adanya proses seleksi pada diri khalayak dalam attensi,
interpretasi, dan retensi. Jadi adanya perhatian merupakan prasyarat untuk
berlangsungnya komunikasi tersebut). Itu berarti khalayak tersebut mempunyai
akses informasi yang tertatur, baik melalui saluran antarpribadi ataupun
melalui media massa. Dengan perkataan lain, pertama-tama haruslah ada dorongan
rasa ingin tahu atau rasa peduli kepada apa yang terjadi di masyarakat dan
negaranya. Dalam hubungan ini dapatlah diasumsikan bahwa, bila masyarakat
mengikuti perkembangan politik dan pemerintahan, maka dalam pengertian tertentu
mereka itu telah terlibat dalam suatu proses dengan keputusan-keputusan politik
dalam arti luas ditetapkan.
Kemauan anggota masyarakat untuk mengikuti perkembangan keadaan merupakan
suatu tingkat keterlibatan yang minimal. Kebudayaan kewargaan negara, mencakup
suatu rasa kewajiban berpartisipasi dalam aktivitas input politik, sekaligus
rasa kompetensi untuk berpartisipasi. Kemauan untuk mengikuti perkembangan
politik dan kepemerintahan merupakan komitmen warga negara dalam arti yang
terbatas. Namun tanpa hal itu, kebudayaan kewargaan negara yang disebutkan tadi
tidak akan ada. Karena itu minat dan kesediaan untuk mengikuti perkembangan
keadaan dapat dilihat sebagai cerminan dari komponen kognitif dari orientasi
kewargaan negara.
Memang dapat dipahami mengapa partisipasi khalayak yang ideal itu masih
sangat sedikit ditemukan pada masyarakat-masyarakat negara yang baru tumbuh.
Karena itu untuk sampai pada keadaan khalayak ideal yang dimaksud, lebih dahulu
harus dipenuhi berbagai persyaratan. Di antara faktor yang menentukan adalah,
tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat, tahap pendidikan yang dicapai,
pengenaan media, dan tentunya keadaan sosial masyarakat sendiri dalam arti
apakah terdapat iklim sosial yang mendorong mereka menjadi ingin tahu dan ikut
serta dalam gerak perkembangan politik dan kepemerintahan.
Selanjutnya, berkenaan dengan kompetensi demokrasi seorang anggota masyarakat yang berkaitan erat dengan dipunyainya informasi yang valid tentang issu-issu dan proses-proses politik. Setelah mempunyai informasi, para warga negara pun harus berkemampuan untuk menggunakan informasi yang dimaksud guna menganalisis issu-issu yang dihadapi dan memperangkati strategi-strategi pengaruh mereka dalam proses politik yang berlangsung.
Selanjutnya, berkenaan dengan kompetensi demokrasi seorang anggota masyarakat yang berkaitan erat dengan dipunyainya informasi yang valid tentang issu-issu dan proses-proses politik. Setelah mempunyai informasi, para warga negara pun harus berkemampuan untuk menggunakan informasi yang dimaksud guna menganalisis issu-issu yang dihadapi dan memperangkati strategi-strategi pengaruh mereka dalam proses politik yang berlangsung.
II.6 Contoh Kasus
Dalam Pemilukada Jawa Barat yang
baru saja di gelar, masyarakat Jawa Barat yang memiliki hak pilih merupakan
khalayak dari sebuah komunikasi politik. Banyak sekali pesan-pesan politik
berupa kampanye yang dilontarkan oleh para komunikator politik yang disini
merupakan para calon gubernur untuk bisa memperoleh perhatian dan suara dari
khalayak yang mereka tuju. Dimana pun kegiatan politik berlangsung, khalayak
politik pastilah terbagi kedalam beberapa segmentasi yang berbeda. Dalam suatu kegiatan politik seperti
kampanye, James E. Grunig menyatakan, “if you’re not thinking segments, you’re
no thinking”. Grunig mengemukakan empat segmen khalayak berkaitan dengan
tanggapan khalayak terhadap isu-isu publik, pertama adalah nonpublik, yakni
orang-orang yang tidak memandang atau menyadari adanya suatu masalah. Kedua
adalah publik laten, yakni yang menyadari adanya masalah namun tidak melibatkan
diri di dalamnya. Selanjutnya adalah publik sadar, yaitu mereka yang menyadari
adanya masalah, terlibat dalam memikirkan masalah tersebut, namun belum
mengambil tindakan apa-apa. Terakhir adalah publik aktif yang terdiri dari
orang yang secara aktif mencari pemecahan terhadap masalah dimana mereka
terlibat didalamnya.
Melihat dari jumlah DPT (daftar
pemilih tetap) pada Pilgub Jabar 2013 mencapai 32,5 juta, namun suara yang sah
hanya mencapai 20.115.423 dan suara yang tidak sah mencapai 598.356 (data KPU),
membuktikan partisipasi khalayak sangatlah kurang dalam kegiatan politik.
Timbul pertanyaan apa yang salah sehingga timbul fenomena seperti ini. Apakah
komunikator politik kurang bisa merangkul dan meyakinkan semua segmentasi dari
khalayak politik, atau memang sekarang ini publik telah menjadi apatis terhadap
kegiatan-kegiatan politik.
Dari contoh kasus ini bisa diambil
sebuah pemahaman jika dalam sebuah sistem politik yang Demokratis, sangat
berpusat pada yang namanya khalayak. Kemenangan seseorang dalam sebuah
pemilihan umum ditentukan oleh seberapa banyak khalayak yang memilih mereka,
dan hal itu berbanding lurus dengan sosok dari komunikator politik yang disini
merupakan calon Gubernur dan wakilnya juga pesan-pesan kampanye yang mereka
lontarkan. Respon khalayak terhadap pesan kampanye dipengaruhi oleh proses
penerimaan dan pengolahan pesan atau informasi yang dilakukan oleh khalayak.
Mungkin dalam kasus ini terjadi apatis terhadap kegiatan politik yang dilakukan
oleh khalayak, dikarenakan faktor-faktor individual dan situasional dalam
mempersepsikan dan merespon pesan-pesan politik yang berbeda-beda pada setiap
individu khalayak.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Khalayak adalah sejumlah
orang yang heterogen, mereka menjadi khalayak komunikasi politik segera setelah
mereka “mengkristal” menjadi opini publik. Nimmo berpandangan jika opini publik
adalah abstraksi dari khalayak komunikasi poliitk (Dan Nimmo, 2010). Khalayak
sering diartikan sebagai masyarakat luas atau kadangkala juga disebut sebagai
publik.
Publik dibedakan menjadi
tiga berkenaan dengan pelapisan khalayak komunikasi politik. Yang pertama publik umum
(general public), kedua, publik yang penuh perhatian (the attentive public) dan
yang terakhir elit opini dan kebijakan (the leadership public).
Ada
dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat siapa khalayak sebenarnya.
Yang pertama disebut perspektif individual dan kedua adalah perspektif
sosiokultural. Perspektif individual melihat khalayak sebagai individu yang
memiliki pandangan pribadi tentang dunia berdasarkan karakteristik personal
yang dimilikinya, sedangkan Dalam perspektif sosio-kultural, khalayak sebagai
produk budaya, dimana faktor-faktor di luar dirinya (faktor eksternal dan
situasional) sangat memengaruhi respons dan perilaku yang muncul.
Dalam
mempersepsikan dan merespon suatu pesan, misalnya pesan politik. Banyak
faktor-faktor yang mempengaruhi khalayak. Faktor itu bisa berupa faktor yang
berasal dari individu khalayak ataupun faktor yang timbul secara situasional.
Faktor-faktor pribadi itu seperti sikap, keyakinan, nilai, kebutuhan dan
kepribadian khalayak. Individu juga dipengaruhi oleh berbagai faktor
situasional ketika mereka menerima pesan. Sebuah pesan akan menimbulkan efek
yang berbeda apabila disampaikan pada seseorang atau sekelompok kecil orang.
Namun bila pesan tersebut disampaikan pada sejumlah besar orang yang tidak
terorganisasi atau kerumunan (crowd), maka efeknya cenderung sama.
Disini
bisa disimpulkan jika khalayak komunikasi politik merupakan publik yang
kompleks dan heterogen. Hal ini bisa dilihat dari segmentasi khalayak
komunikasi politik yang dibagi kedalam beberapa kelompok. Jadi, pemahaman
mengenai khalayak dan segmentasinya merupakan sebuah modal dalam melakukan
kegiatan komunikasi politik.
DAFTAR PUSTAKA
Nimmo,
Dan. 2010. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Venus,
Antar. 2009. Manajemen Kampanye. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
http://adiprakosa.blogspot.com/2010/04/kompol7.html
(diakses pada tanggal 11-03-2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar