SEJARAH
PERS DI INDONESIA
MAKALAH
Diajukan
untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah dan Perbandingan Pers
Dosen:
H. Roni Tabroni, S.Sos., M.Si
Disusun
Oleh:
Fitri
Lestari
1211405054
ILMU
KOMUNIKASI PRODI JURNALISTIK
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN
GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
KATA
PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamualaikum
wr. wb.
Puji dan
syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan segala rahmat dan karunia-Nya
kepada kita semua. Karena hanya dengan berkat rahmat dan hidayah-Nya jualah
penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah pada mata kuliah Sejarah dan
Perbandingan Pers yang berjudul “Sejarah Pers di
Indonesia”.
Adapun
tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Sejarah dan Perbandingan Pers. Dengan selesainya makalah ini, saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah
membantu pada proses penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini
jauh dari sempurna. Untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca agar dapat menjadi acuan untuk dapat membuat makalah selanjutnya yang
jauh lebih baik.
Wassalamualaikum
wr. wb.
Bandung, September 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar_________________________________________________________ i
Daftar Isi______________________________________________________________ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah_____________________________________________ 1
B.
Rumusan
Masalah__________________________________________________ 1
C.
Tujuan
Penyusunan_________________________________________________ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Zaman
Penjajahan Belanda___________________________________________ 2
B. Zaman
Perjuangan (Pergerakan)_______________________________________ 3
C. Zaman
Penjajahan Jepang____________________________________________ 3
D. Zaman
Orde Lama_________________________________________________ 3
E. Zaman
Orde Baru__________________________________________________ 4
F. Era
Reformasi_____________________________________________________ 6
G. Teori
Pers dan Penerapannya di Indonesia_______________________________ 8
BAB III PENUTUP_____________________________________________________ 10
DAFTAR PUSTAKA___________________________________________________ 11
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara tentang jurnalistik adalah
berbicara mengenai pelaksanaan demokrasi sebagai bentuk dari kebebasan
menyampaikan pendapat seperti yang tercantun dalam Undang-undang Pasal 28.
Dalam fungsinya, jurnalistik menjadi sarana yang menghubungkan aspirasi
masyarakat dengan pemerintah.
Kelahiran jurnalistik di dunia
sebetulnya sudah berlangsung lama, yakni sejak zaman pemerintahan Cayus Julius
Caesar (100-44 SM) di negara Romawi (Sumadiria, 2005: 17). Berawal dari menyiarkan kabar mengenai keputusan
senat di papan pengumuman, Acta Diurna. Terhadap isi acta diurna tersebut
setiap orang boleh membacanya, bahkan juga boleh mengutipnya untuk kemudian
disebarluaskan dan dikabarkan ke tempat lain.
Sejak
saat itu, jurnalistik mengalami perkembangan hingga ke Cina, Eropa, Amerika dan
masuk ke Indonesia. Namun, ternyata belum banyak yang tahu mengenai sejarah
perkembangan jurnalistik pers di Indonesia dari fase pertama hingga tumbuh
menjadi seperti sekarang ini.
Oleh
karena itu, penyusun merasa terpanggil untuk menyusun makalah yang membahas
mengenai perkembangan jurnalistik pers di Indonesia yang disusun berdasarkan
kurun waktu sejarah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, ada
beberapa rumusan masalah yang hendak penyusun rangkum dalam mkaalah ini, di
antaranya:
1.
Bagaimana
kronologi perkembangan pers di Indonesia dari periode pertama hingga saat ini?
2. Dalam realitanya, teori apa yang saat
ini diterapkan pemerintah dalam aktifitas jurnalistik?
C. Tujuan Penyusunan
Adapun
tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan informasi tentang perkembangan
pers di Indonesia
2. Membahas teori yang diterapkan
pemerintah dalam akrifitas jurnalistik.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Zaman Penjajahan Belanda
Perkembangan
sejarah Jurnalistik di Indonesia telah dimulai sejak zaman pemerintahan
belanda (zaman penjajahan). Menurut AS
Haris Sumadiria (2005:11) yang dikutip dari pendapat gurunya, Jurnalistik pers
di Indonesia mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada 1744. Ketika itu surat
kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan dengan penguasaan
orang-orang Belanda.
Selanjutnya
pada 1776 di Jakarta juga terbit surat kabar Vendu Niews yang
mengutamakan diri pada berita pelelangan. Menginjak abad 19, terbit berbagai
surat kabar lainnya yang kesemuanya masih dikelola oleh orang-orang Belanda
untuk pembaca orang Belanda atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa Belanda,
yang pada umumnya merupakan kelompok kecil saja.
Jurnalistik
koran-koran Belanda ini, jelas membawakan suara pemerintahan kolonial Belanda,
sebagian sumber menyatakan surat kabar tersebut dibuat untuk membela kaum
kolonialis. Sedangkan surat kabar pertama sebagai bacaan kaum pribumi dimulai
pada tahun 1854 ketika majalah Bianglala diterbitkan, disusul oleh Bromartani
pada 1855, keduanya di lahir di Weltevreden. Selanjutnya pada 1856 terbit
Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya (Effendy, 2003: 104). Pada zaman ini pun, dibentuk persatuan
jurnalistik yang dikenal dengan nama Pers Kolonial, organisasi ini di bentuk
oleh para kolonial dan terus berkembang hingga abad ke 20.
Sejarah
jurnalistik pers pada abad 20, menurut salah seorang guru besar ilmu komunikasi
Universitas Padjadjaran ( Unpad) Bandung, ditandai dengan munculnya surat kabar
pertama milik bangsa Indonesia. Surat kabar tersebut bernama Medan Prijaji yang
terbit di kota Kembang, Bandung. Surat kabar tersebut lahir dengan modal dari
bangsa Indonesia untuk bangsa Indonesia.
Medan
prijaji dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono.
Pada tahun 1907, surak kabar ini terbit mingguan, namun pada tiga tahun
berikutnya yakni 1910 berubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang
dianggap sebagai pelopor yang meletakkan dasar-dasar jurnalistik modern di
Indonesia, baik dalam cara pemberitaan maupun dalam cara pemuatan karangan dan
iklan (Effendy, 2003: 104-105).
Selain
Belanda, disamping itu orang-orang keturunan thionghoa juga
menggunakan surat kabar sebagai alat pemersatu keturunan thionghoa yang berada
di Indonesia. Surat-surat kabar yang terbit pada era kolonial ini
menggunakan bahasa Belanda, Cina dan Jawa.
B. Zaman
Perjuangan (Pergerakan)
Di
zaman pergerakan surat-surat kabar juga diterbitkan sebagai alat perjuangan
seperti perkembangan di dunia jurnalistik saat itu menjadi pendorong bangsa
Indonesia dalam memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa. Harian yang
terbit pada zaman itu antara lain harian Sedio Tomo yang merupakan
kelanjutan dari Budi Oetomo di Yogjakarta tahun 1920, harian Darmo Kondo
di Solo, harian Utusan India yang terbit di Surabaya dan masih banyak
lagi.
C. Zaman
Penjajahan Jepang
Beralih
ke masa penjajahan Jepang, pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis.
Namun pada masa itu, surat izin penerbitan mulai diberlakukan. Surat-surat
kabar yang diterbitkan dalam bahasa Belanda banyak yang dimusnahkan.
Penerbitan surat-surat kabar pun mulai ketat dibawa pengawasan Jepang.
Surat-surat kabar yang terbit pada masa tersebut antara lain Asia Raya
(Jakarta), Sinar Baru (Semarang), Suara Asia (Surabaya),
Tjahaya(Bandung).
Walaupun
pengawasan jepang yang begitu ketat dan mengekang, namun ada
pelajaran-pelajaran berharga untuk dunia jurnalistik Indonesia. Pengalaman
karyawan-karyawan pers di Indonesia menjadi bertambah. Rakyat semakin
kritis dalam menanggapi informasi-informasi yang beredar, penggunaan bahasa
Indonesia pun semakin meluas.
D. Zaman
Orde Lama
Lima
tahun pasca kemerdekaan, pers Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik
praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau terompet
partai-partai poltik besar. Inilah yang disebut era pers partisan. Artinya pers
dengan sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti
partai politik yang disukai dan didukungnya.
Kebebasan
pers di sini diartikan sebagai bebas untuk memilih salah satu partai politik
sebagai induk semang, dan bukan bebas untuk meliput dan melaporkan apa saja yang
harus dan ingin diketahui oleh masyarkat luas. Dalam era ini pers Indonesia
terjebak dalam pola sektarian. Secara filosofis, pers tidak lagi mengabdi
kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk para pejabat
partai.
Era
pers partisan ternyata tidak berlangsung
lama. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pers nasional memasuki masa
gelap gulita. Setiap perusahaan penerbitan pers diwajibkan memiliki Surat Izin
Terbit (SIT). Bahkan menurut seorang pakar pers, 1 Oktober 1958 dapat dikatakan
sebagai tanggal kematian kebebasan pers Indonesia (Effendy, 2003: 108). Pada
tanggal inilah, Penguasa Darurat Perang Daerah (Paperda) Jakarta Raya,
menetapkan batas akhir pendaftaran bagi seluruh penerbitan pers untuk
memperoleh Surat Izin Terbit (SIT).
Lebih
parah lagi, ketika setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada
organisasi politik atau organisasi massa. Akibat kebijakan ini, tidak kurang
dari 80 surat kabar pada waktu itu dimiliki oleh sembilan partai politik dan
organisasi massa. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudian lahir
peraturan baru yang mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak
mengeluarkan pikiran dan pendapatnya. Klimaksnya adalah pemberontakan PKI pada
30 September 1965 dengan nama G30S. Gerakan ini berhasil ditumpasoleh rakyat
bersama TNI dan mahasiswa (Effendy, 2003: 109-110).
E. Zaman
Orde Baru
Pada
awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan
dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan
Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama.
Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara
lain aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia
mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin
pesat.
Selama
dua dasawarsa pertama orde baru, 1965-1985, kebebasan jurnalistik di Indonesia
memang bisa disebut lebih banyak bersinggungan dengan dimensi, unsur, nilai,
dan ruh ekonomi daripada dengan dimensi, unsur, nilai dan ruh politik. Sebagai
sarana ekonomi, pers dapat hidup dengan subur. Rumusnya hanya satu: jangan
pernah bicara politik. Orde baru sangat menyanjung ekonomi sekaligus sangat
alergi dan bahkan membenci politik. Pers yang menyentuh wilayah kekuasaan sama
sekali tak dibenarkan dan bisa berakhir dengan pembredelan.
Sejarah
menunjukkan, dalam lima tahun pertama kekuasaannya yang sangat represif dan
hegemonik, orde baru bisa disebut sangat bersahabat dengan pers. Pers itu
sendiri seperti sedang menikmati masa bulan madu kedua. Namun, dimana pun bulan
madu hanyalah sesaat.
Dunia
pers menghadapi kenyataan yang sangat tragis.
Pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde
baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak
ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila
ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah
yang tentunya akan mengancam penerbitannya.
Pada
masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan
pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka
media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan
orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan
kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu
sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
“Pada
masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah
bebas dan bertanggungjawab” (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya
tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan. Tanggal 21
Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat
izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka
mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh
pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku
menteri penerangan pada saat itu.
Meskipun
pada saat itu pers benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun
ternyata banyak media massa yang menentang politik serta kebijakan-kebijakan
pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum berakhir. Tempo misalnya,
berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya.
Pembredelan
1994 ibarat hujan, jika bukan badai dalam ekologi politik Indonesia secara
menyeluruh. Tidak baru, tidak aneh dan tidak istimewa jika dipahami dalam
ekosistemnya. (Aliansi Jurnalis Independen, 1995 : 140). Sebelum dibredel pada
21 Juni 2004, Tempo menjadi majalah berita mingguan yang paling penting di
Indonesia. Pemimpin Editornya adalah Gunawan Mohammad yang merupakan seorang
panyair dan intelektual yang cukup terkemuka di Indonesia.
Pada
1982 majalah Tempo pernah ditutup untuk sementara waktu, karena berani
melaporkan situasi pemilu saat itu yang ricuh. Namun dua minggu kemudian, Tempo
diizinkan kembali untuk terbit. Pemerintah Orde Baru memang selalu was-was
terhadap Tempo, sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah.
Majalah
ini memang terkenal dengan independensinya yang tinggi dan juga keberaniannya
dalam mengungkap fakta di lapangan. Selain itu kritikan- kritikan Tempo
terhadap pemerintah di tuliskan dengan kata-kata yang pedas dan bombastis.
Goenawan pernah menulis di majalah Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari
kerja jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”.
Meskipun berani melawan pemerintah, namun tidak berarti Tempo bebas dari
tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan sebuah berita yang menyangkut politik
serta keburukan pemerintah, Tempo telah mendapatkan berkali-kali maendapatkan
peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus rela dibungkam dengan aksi pembredelan
itu.
Namun
perjuangan Tempo tidak berhenti sampai disana. Pembredelan bukanlah akhir dari
riwayat Tempo. Untuk tetap survive, ia harus menggunakan trik dan startegi.
Salah satu trik dan strategiyang digunakan Tempo adalah yang pertama adalah
mengganti kalimat aktif menjadi pasif dan yang kedua adalah stategi pinjam
mulut. Semua strategi itu dilakukan Tempo untuk menjamin kelangsungannya
sebagai media yang independen dan terbuka. Tekanan yang datang bertubi-tubi
dari pemerintah tidak meluluhkan semangat Tempo untuk terus menyampaikan
kebenaran kepada masyarakat.
Setelah
pembredelan 21 Juni 1994, wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti
dengan mendirikan Tempo Interaktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus
Informasi) pada tahun 1995. Perjuangan ini membuktikan komitmen Tempo untuk
menjunjung kebebasan pers yang terbelenggu ada pada zaman Orde Baru. Kemudian
Tempo terbit kembali pada tanggal 6 Oktober 1998, setelah jatuhnya Orde
Baru.
F. Era
Reformasi
Pada
masa Orde Reformasi, era kebebasan pers sangat dijunjung tinggi. Hal ini
memunculkan lahirnya berbagai media massa baru dan bahkan media lama yang pernah
terkena pembreidelan oleh penguasa Orde Baru seperti Koran Tempo telah terbit
kembali. Dalam periode sejarah ini, pers benar-benar mengalami kemajuan pesat.
Langkah merger dan akuisisi ditempuh oleh sejumlah perusahaan sebagai strategi
bisnis media yang dinilai ampuh hingga sekarang. Dari tahun 1998-2000 saja
tercatat hampir 1.000 perusahaan media yang mendapatkan izin terbit dari
pemerintah, kendati hanya sedikit perusahaan media yang bisa bertahan sebab
terjadi kompetisi bisnis yang sangat ketat. Jumlah media cetak pada awal tahun
1999 sebanyak 289 buah, dan pada tahun 2001 menjadi 1.881 buah.
Akhir
tahun 2010, jumlah media cetak menyusut menjadi 1.076 buah (Data Serikat
Penerbit Surat Kabar, 2011). Surat kabar dengan oplah tertinggi dipegang oleh
Kompas dengan 600.000 eksemplar per hari, Jawa Pos 450.000 eksemplar per hari,
Suara Pembaruan 350.000 per hari, Republika 325.000 eksemplar per ari, Media
Indonesia 250.000 eksemplar per hari dan Koran Tempo dengan 240.000 eksemplar
per hari. Pada tahun 2002, jumlah stasiun radio mencapai 873 buah. Pada tahun
2003, ada 11 stasiun televisi, 186 surat kabar harian, 245 surat kabar
mingguan, 279 tabloid, 242 majalah dan 5 buletin (Gobel and Eschborn, 2005).
Lalu, bagaimana peta industri media
dalam skala global?
Fakta
menunjukkan bahwa industri media massa sedunia hanya dikuasai oleh 6 perusahaan
media massa raksasa milik Yahudi. Perusahaan tersebut adalah Vivende
Universal, AOL Time Warner, The Walt Disney Co., Bertelsmann AG, Viacom,
dan News Corporation. Enam konglomerasi media massa dunia tersebut
menguasai 96 persen pasar media dunia (Ramdan, Anton A. 2009). Bahkan
menurut Robert W. Mc Chesney pada tahun 2000, penguasa media massa tinggal 3
perusahaan raksasa (holdings), yang kemudian mereka disebut sebagai The Holy
Trinity of the Global Media System. Chesney merisaukan dampak dari adanya
kenyataan jika kekuataan media sebagai produsen budaya, produsen informasi
politik dan kekuatan ekonomi; terkonsentrasi pada beberapa orang saja (Chesney,
2000).
Namun
seiring berjalannya waktu, bisnis media cetak mengalami kerontokan. Berikut ini
sederet realitas sosial yang semakin menguatkan hegemoni industri media cetak
tak sehebat (seampuh) lagi, sebagaimana sebelum era teknologi internet
dikomersialkan.
Pertama, gulung tikarnya perusahaan koran
tertua dan terbaik di AS sekaliber The New York Times mengalami kolaps
akhir tahun 2011. Kebangkrutan The New York Times memaksa pihak
manajemennya melego 16 surat kabar daerahnya kepada Halifax Media Holdings
senilai USD 143 juta. Langkah The New York Times menjual asetnya untuk
mengatasi beban utang. Dalam 9 bulan pertama 2011, pendapatan iklan The New
York Times turun 7 persen, atau hanya USD 190 juta. Padahal tahun 2010,
pendapatan tahunan iklan The New York Times setinggi USD 2,4 miliar.
Kini, The New York Times beralih ke bisnis media online (Kontan edisi 29
Desember 2011).
Kedua, anjloknya jumlah oplah surat kabar
dengan oplah tertinggi sedunia, yang dipegang Yomiuri Shimbun (surat kabar di
Jepang). Di mana oplahnya mencapai 10 juta eksemplar per hari. Dalam The
33rd NSK-CAJ Fellowship Program di Nippon Press Centre (Senin, 24/9/2012),
terungkap industri pers Jepang pun tengah mengalami masalah besar. Sebab
generasi muda Jepang (usia 20-30 tahun) tidak pernah membaca koran. Menurut Mr
Masaki Satsuka, Director of Editorial, Technology and International Affairs
Committee of NSK, ketidakmauan generasi muda Jepang membaca koran berdampak
negatif pada oplah koran. Dampaknya, menurunkan jumlah oplah koran 1-2 juta
eksemplar (Kedaulatan Rakyat edisi 25 September 2012).
Ketiga, beralihnya majalah Newsweek
ke versi online mulai awal Januari 2013 kemarin, karena sejak tahun 2010
merugi sampai USD 40 juta. Pemimpin Redaksi majalah Newsweek, Tina Brown
mengumumkan bahwa Newsweek akan beralih versi online dengan nama Newsweek
Global. Kebijakan tersebut untuk menekan ongkos cetak dan distribusi serta
diorientasikan bagi 70 juta pengguna komputer jinjing di AS (Kompas edisi 20
Oktober 2012).
G. Teori
Pers dan Penerapannya di Indonesia
1. Teori otoritarian
Menurut teori ini, media massa
mempunyai tujuan utama mendukung dan mengembangkan kebijaksanaan pemerintah
yang sedang berkuasa, dan untuk mengabdi kepada negara. Dengan demikian, media
massa dikontrol oleh pemerintah, karena hanya dapat terbit dengan izin dan
bimbingan serta arahan pemerintah, bahkan kadang-kadang dengan sensor
pemerintah.
Teori ini cenderung membentuk suatu
system control yang efektif dan menggunakan media massa sebagai sarana yang
efektif bagi kebijaksanaan pemerintah meskipun tidak harus dimiliki oleh
pemerintah.
2. Teori Libertarian (Libertarian
Theory)
Asumsi dasar teori ini adalah bahwa
manusia pada hakikatnya dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh
rasio atau akalnya. Manusia mempunyai hak secara alamiah untuk mengejar
kebenaran dan mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim kebebasan
menyatakan pendapat.
Tujuan dan fungsi media massa
menurut paham liberalism adalah memberi penerangan, menghibur, menjual, namun
yang terutama adalah menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah serta untuk
mengecek (to check) atau mengontrol pemerintah.
3. Teori Tanggung Jawab Sosial (Social
Responsibility Theory)
Teori ini diberlakukan sedemikian
rupa oleh beberapa sebagian pers. Teori Tanggungjawab sosial punya asumsi utama
: bahwa kebebasan, mengandung didalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan; dan
pers yang telah menikmati kedudukan terhormat dalam pemerintahan Amerika
Serikat, harus bertanggungjawab kepada masyarakat dalam menjalankan
fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern.
4. Teori Pers Soviet Komunis
Dalam teori Soviet, kekuasaan itu
bersifat sosial, berada di orang-orang, sembunyi di lembaga-lembaga sosial dan
dipancarkan dalam tindakan-tindakan masyarakat. Kekuasaan itu mencapai
puncaknya (a) jika digabungkan dengan sember daya alam dan kemudahan produksi
dan distribusi, dan (b) jika ia diorganisir dan diarahkan.
Partai Komunis memiliki kekuatan
organisasi. Partai tidak hanya menyelipkan dirinya sendiri ke posisi pemimpin
massa; dalam pengertian yang sesungguhnya. Partai menciptakan massa dengan
mengorganisirnya dengan membentuk organ-organ akses dan kontrol yang merubah
sebuah populasi tersebar menjadi sebuah sumber kekuatan yang termobilisir.
Lantas, teori pers apakah yang
diterapkan di Indonesia?
Berdasarkan
uraian mengenai teori pers di atas, maka teori yang diterapkan dalam sistem
pers di Indonesia adalah teori Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility
Theory). Kebebasan berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pendapat (salah satunya pers) telah diatur dalam UUD pasal 28
sebagai cerminan bangsa yang demokratis.
Namun,
bagi pers sendiri, kebebasan tersebut bukan serta-merta kebebasan yang tanpa
batas. Melainkan kebebasan pers yang bebas dan bertanggung jawab. Kebebasan
tersebut dipertanggungjawabkan kepada publik (masyarakat) manakala ada berita
atau informasi yang tidak sesuai dengan realita yang terjadi.
Para
insan pers di Indonesia diberikan kebebasan untuk mengekspos berita apa saja
dengan syarat dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan kata lain, faktualitas
informasi yang disampaikan sangat dipertaruhkan sehingga tidak terlepas dari
nilai berita yang seharusnya ada dalam setiap produk jurnalisme. Selain itu
juga, hal ini pun menekankan pada kredibilitas seorang wartawan dalam
menjalankan profesinya sehingga mereka tidak asal-asalan dalam melaporkan
sebuah peristiwa ataupun kejadian tertentu.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Kegiatan jurnalistik pers di Indonesia
sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. Ditandai dengan lahirnya surat
kabar pertama bernama Bataviasche Nouvelles yang diterbitkan dengan penguasaan
orang-orang Belanda. Selanjutnya memasuki masa perjuangan, pers surat-surat
kabar juga diterbitkan sebagai alat perjuangan seperti perkembangan di dunia
jurnalistik saat itu menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam memperbaiki nasib
dan kedudukan bangsa. Kemudian pers menjadi lebih maju ketika berada di bawah
pemerintahan kolonial Jepang.
Pada
zaman orde lama dan orde baru, pers mengalami pasang surut. Beberapa kali pers
mengalami pembredelan dari pemerintah, terlebih pada rezim Soeharto yang
terkenal otoriter. Memasuki era reformasi media massa kembali melebarkan
sayapnya karena mendapatkan kebebasan dari pemerintah dengan menganut
nilai-nilai idelisme dan independensi. Hal ini menjadikan banyaknya media massa
lahir di seluruh penjuru tanah air dari cetak hingga elektronik.
Melihat
realita penerapan sistem pers yang berlaku saat ini, Indonesia menerapkan teori
tanggung jawab sosial bagi para insan pers. Pihak pers bebas mengeksplorasi informasi
namun harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Ardianto,
Elvinaro. 2012. Komunikasi Massa.
Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Suhandang,
Kustadi. 2010. Pengantar Jurnalistik. Bandung : Nuansa
Sumadiria, Haris. 2005.
Jurnalistik Indonesia. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.